Opini: Ketika Menteri Ara Beda Haluan Dana

Oleh Muhammad Joni
Advokat, Sekretaris Dewan Pakar The HUD Institute,
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia
Ada dua jenis pemimpin: yang menghitung untung-rugi dan yang menantang arah arus dengan keyakinan. Yang terakhir lebih langka, dan sering diburu waktu, atau dijegal sistem.
Belum setahun pemerintahan Prabowo Subianto per Oktober 2025. Di tengah ambisi nan budiman membangun 3 juta rumah untuk rakyat, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) acap buat terobosan. Tapi mengapa kali ini melangkah ke lain haluan? Beda haluan itu dikesan publik menjadi pertanyaan: adakah arah Ara bersimpangan?
Ketika hampir semua pejabat negara berlomba menarik dana investor asing, kali ini Menteri Ara justru menutup pintu pinjaman luar negeri, walau dana paling penting: Cash is King. Ia menolak skema pinjaman asing, termasukkah dari Dana Qatar sahabat budiman?
Padahal menurut Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo, Dana Qatar sudah masuk senilai Rp40 triliun yang untuk biaya 50 ribu unit rumah rakyat aman. Pun masih tahapan awal.
Sebaliknya, tak kalah beteng-cum-keren Bung Ara mengajukan jurus barunya: Danantara Investment dan skema pembiayaan berbasis UKM melalui KUR Perumahan. Tak hanya UKM bahkan UMKM.
Sikap ini tampak berani tapi juga (maaf) membingungkan, duhai Pak Menteri Ara. Tak hanya saya, juga kawan saya Ketua asosiasi pengembang MBR yang pertama.
Dana Murah dan Siap Cair, Mengapa Ditolak?
Dana Qatar adalah contoh menarik inovasi kreatif menggali pembiayaan eksternal dengan biaya rendah, risiko jangka panjang kecil, dan kapasitas cepat cair. Banyak negara berlomba-lomba mendapat dana semacam ini, karena lobi-lobi Indonesia manjur maka investor Qatar luluh hati.
Jadi, mengapa dana murah itu ditolak? Apakah ini soal prinsip yang telak? Apakah Maruarar Sirait ingin membangun ekosistem baru bernama sebut saja “Dana Ara” dengan menggandeng Danantara, atau justru asa kombinasi mesin ganda skema investasi Qatar-RI yang sudah mulai dikucurkan barusan tadi, bagai puisi bulan Juli?
Baca juga: Opini: Kalau Bisa Asset Management, Mengapa Memilih Opsi Rumah Mini?
Ide Besar: Inovasi atau Ilusi?
Menteri Ara mengusung gagasan apik: program rumah rakyat tak sekadar bangun rumah tapi juga mendorong UMKM. Ia menginginkan rumah tumbuh bersama ekonomi rakyat. Kredit rumah digandeng dengan pelaku UMKM, bahan bangunan lokal, tenaga kerja domestik, koperasi lokal. The HUD Institute pernah menyiapkan konsep ‘Rumah Sehat Produktif’ menjawab disrupsi pendemi Covid-19, bisa diajak bergotong royong.
Di atas kertas selalu indah. Tapi realitasnya? Adakah roadmapnya? Anggaplah paket regulasi yang diperlukan bisa digeber gaspol tapi juga perlu bersiap mampu laksana lembaga pelaksana. Energi vibes-nya perlu ada. Sebab Danantara masih bayi. Bank pelaksana KUR Perumahan belum punya produk spesifik pembiayaan rumah rakyat. Pengembang UMKM perlu kapasitasi, standardisasi, dan log in ke sistem. Tapi, time is ticking. John Grisham menulis novel thriller ‘A Time to Kill’, kisah Jake Brigance seorang pengacara muda di kota kecil Clanton, Mississippi yang membela Carl Lee Hailey yang nyaris putus asa.
Acap kali ide bagus yang lincah menerobos kebekuan kebijakan ala Menteri Ara, namun saya amati mereda kemudian. Sebagai publik pro MBR, amba ‘Anak Medan’ tak hendak cepat putus asa. Apa kabar rumah gratis dan beleids gotong royong perumahan? Mana pula ikhtiar realisasi kewajiban pengembang atas hunian berimbang? Sampai mana kabarnya BP3? Gagasan pun kebijakan bagus itu saya bela, seperti Jack Brigance kepada Carl Lee Hailey. Gagasan beteng dan keren kudu dimenangkan sebagai sejoli kebijakan dan tindakan merealisasikan.
Baca juga: Opini: Program 3 Juta Rumah: Ambisi Besar, Regulasi Kompleks, dan Tantangan di Lapangan
Namun Bung Ara, kalau jalan tol Dana Qatar sudah tersedia, kenapa menolak lewat dan memilih buka jalan baru di hutan belantara? Begitu gaya aseli kritik jebolan akademi ekonomi pembangunan.
Risiko Realistis: Waktu, Kepercayaan, dan Friksi Kebijakan
Ketika rakyat menunggu rumah, ketika backlog hunian sudah 12 juta unit, ketika perintah Presiden Prabowo tegas cetho welo-welo: bangun 3 juta rumah. Maka dan maka pedang waktu menjadi musuh utama yang makan dan tidur bersama.
Dan, antara Kementerian PKP dan Satgas Perumahan, di aras media tampak memunculkan hal yang berbeda. Kata media, Ara tolak pinjaman luar negeri. Wamen PKP Fahri Hamzah yang bertelenta hanya bilang tak paham alasan Ara. Pak Hashim bilang dengan narasi lugas: tak ada pembatalan. Saya dilanda nguyu sukaria. Buktinya Dana Qatar tetap masuk. Dan, diwartakan sudah masuk Rp40 triliun tahap pertama. Great!
Ups….., Menteri Ara bukan pejabat biasa. Ia politisi. Dan seperti tokoh dalam novel hukum John Grisham, Ara memainkan pertaruhan besar dalam sunyi bagaikan thriller ala Grisham. Publik gemas dan gemetar menunggu kabar.
Bagus jika ia ingin menciptakan paradigma baru. Paten jika ia ingin program 3 juta rumah ini jadi warisan baru, bukan sekadar kelanjutan skeme lama FLPP yang cenderung stagnan dalam kuota. Asosiasi pengembang MBR acap merengekkan kuota. Menkeu kudu perlu diadvokasi konsep subsidi produktif dari dana migas besutan Satgas Perumahan.
Namun keberanian sering datang bersama risiko: Jika gagal, ia sendirian menanggung beban sejarah. Jika berhasil, ia menciptakan preseden baru dalam pembiayaan perumahan berbasis nasionalisme fiskal, namun mahal.
Apabila ada hal yang dikhawatirkan pada Dana Qatar kudu dimitigasi, bahwa pinjaman luar negeri apalagi dana murah sahabat budiman bukan dosa jika disiapkan dengan pengelolaan yang akuntabel dan tanpa syarat politis.
Eureka, pinjaman dana murah ternyata oh ternyata bisa untuk negeri (+62). Pelajaran dari Dana Qatar bisa menjadi jembatan inovasi pembiayaan dan efisien belanja perumahan MBR. Jika gambaran realisasinya blur, suaranya kabur karena blank spot, vibes-nya tidak good governance, maka angkatan netizen kritis bisa nyinyir panjang. Postulat saya, inovasi dana murah luar negeri untuk perumahan MBR dari Dana Qatar budiman ternyata oh ternyata bisa, mustinya dikerjakan semenjak dari zaman dulu backlog tinggi, ya? Pun begitu hendaknya Danantara.
Namun Danantara belum terbukti siap-siap, masih menjanjikan Rp130 triliun tapi belum punya histori realisasi. Danantara belum cair seperti Dana Qatar. Makanya patut ditanya: Dana Qatar versus Danantara, jenis dana mana lebih gurih dan murah?
Kata kawan saya, jika mengggunakan lembaga baru dalam program besar namun belum siap bisa take off, pasti membawa konsekuensi sistemik yang kritis pada saat 11 menit lepas landas: Critical Eleven.
Baca juga: Opini Luas Rumah 25 M2: Jangan Permalukan Presiden Prabowo
Program rumah butuh kesinambungan, sinergitas bukan keterpisahan selera, menu dan meja. Memadukan Dana Qatar dan Danantara, plus subsidi produktif mengapa tidak? Asalkan misi program 3 juta rumah sukses membuat rakyat iso nguyu: tersenyum!
Pak Menteri Yth. Tindakan Pak Ara mungkin berdasar. Tapi suara di ruang publik yang beda adalah sebuah tanda tanya. Dan, bagi rezim hukum pembangunan sing totok, idealisme tanpa kesiapan adalah kekosongan. Apalagi tanpa dua sejoli ini: kebijakan dan realisasi.
Jika membangun rumah layak untuk rakyat adalah mandatori konstitusi negara, maka yang utama bukan siapa yang membangun tetapi seberapa sigap dan cepat, seberapa aman, dan seberapa berkelanjutan the dream team membangunnya. Menunda hak dasar dan keadilan hunian bukan pilihan, urusannya bisa masuk ke HAM.
Maka, pertanyaan kritisnya: Apakah Pak Maruarar Sirait sedang menciptakan inovasi pembiayaan perumahan rakyat? Ataukah tanpa sadar, sedang menunda program 3 juta rumah yang paling beteng dan keren dalam lintasan sejarah pembangunan perumahan Indonesia yang dua periode hanya berani cuma satu juta. Tak semuanya 100% untuk MBR pula.
Jika ada peluang bagus dana murah yang ternyata oh ternyata bisa dari sahabat budiman Qatar a.k.a Dana Qatar juncto Danantara, maka Alhamdulillah rakyat tersenyum mendapat rumah layak lebih cepat dan tidak ditunda-tunda. Jangan lupa dengan kata yang beteng dan keren dari kitab HAM: Delayed of justice is denied of justice. Jangan tunggu puisi bulan Oktober 2025. Tabik.