Di dunia properti, return atau pengembalian investasi berasal dari dua sumber: yield atau hasil sewa dan gain atau hasil kenaikan nilai propertinya.

Secara umum untuk rumah tapak (landed house) yield-nya kecil, rata-rata antara 2,5-3 persen per tahun, dihitung dari nilai rumahnya saat disewa. Sebaliknya gain-nya jauh lebih tinggi, mencapai 7-8 persen dari nilai propertinya saat dijual.

Jadi, kalau nilai rumahnya Rp10 miliar, tarif sewa rata-ratanya hanya Rp250 juta-Rp300 juta per tahun, atau Rp20 juta-Rp25 juta per bulan.

Di Jakarta rumah seharga Rp10 miliar sudah tergolong mewah, dilengkapi lebih dari tiga kamar tidur, dan sangat layak huni untuk para pejabat negara.

Pilihan rumahnya pasti di kawasan strategis dengan lingkungan yang nyaman dan banyak fasilitas. Misalnya, di Cilandak, Cipete, Kemang, Jagakarsa, Kebagusan, Kalibata, Kembangan, Kedoya, Tomang, Benhil, Duren Sawit, dan banyak lagi.

Di situs jual beli dan sewa rumah, rumah-rumah kelas atas itu banyak ditawarkan. Lokasinya tinggal pilih sesuai selera.

Dengan kata lain, kalau anggota DPR mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, berarti mereka bisa menyewa rumah yang jauh lebih mewah seharga Rp20 miliar.

Pertanyaannya, apa pantas negara memberikan tunjangan sewa rumah semewah itu untuk anggota DPR? Bahkan, rumah seharga Rp10 miliar saja, sudah terasa berlebihan buat anggota DPR. Terlebih dalam situasi ekonomi yang kurang baik-baik saja seperti sekarang.

Tunjangan rumah memang perlu buat anggota DPR, karena rumah dinas DPR di Kalibata dan Ulujami konon sudah pada rusak dan sudah dikembalikan ke negara.

Tapi, nilainya tidak perlu berlebihan, tapi sekedar cukup untuk menyewa rumah yang layak huni dan memadai luasannya, di lokasi yang aman nyaman dan mudah dijangkau dari gedung parlemen.

Misalnya, rumah seharga maksimal Rp5 miliar di Jakarta dan sekitarnya. Dengan membatasi harga rumahnya senilai itu, anggota DPR cukup diberi tunjangan rumah Rp12,5-15 juta saja per bulan.

Sementara apartemen berkebalikan dengan rumah tapak. Rata-rata yield-nya besar, antara 7-8 persen rata-rata per tahun dari nilai propertinya saat disewa, dan gain-nya rendah, antara 2,5-3 persen dari nilainya saat dijual.

Jadi, untuk apartemen seharga Rp5 miliar, tarif sewanya antara Rp350 juta-Rp400 juta per tahun, atau antara Rp29 juta-Rp33 juta per bulan.

Namun, dalam praktik tarif sewa apartemen bisa jauh lebih rendah dari patokan return investasi itu karena macam-macam alasan. Karena misalnya, apartemennya tidak baru lagi kendati masih sangat layak huni dan berkelas, dan memang dikelola untuk disewakan dalam jangka panjang.

Salah satu contohnya adalah Park Royal, apartemen premium yang berlokasi persis di seberang gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Mengutip situs Jendela360, untuk unit 3 kamar tidur seluas 148 m2 middle floor, tarif sewanya saat ini hanya Rp18,34 juta per bulan. Unitnya juga fully furnished, alias sudah dilengkapi perabot lengkap. Tinggal masuk bawa koper.

Apartemen bisa menjadi pilihan yang lebih menarik bagi anggota DPR sebagai tempat tinggal selama bertugas, karena lokasinya bisa jauh lebih dekat ke pusat kota dan komplek parlemen di Senayan.

Memang, bila tinggal di apartemen masih akan ada tambahan biaya seperti service charge, biaya listrik dan air. Tapi, nilai totalnya bersama harga sewa, tetap masih jauh di bawah Rp50 juta per bulan.

Apalagi, kalau unit apartemennya lebih kecil, total sewa ditambah service charge dll akan lebih rendah lagi. Untuk apartemen, unit berukuran 148 m2 itu sudah terbilang amat lapang.