Selasa, September 30, 2025
HomeBerita PropertiMK Perintahkan Penataan Ulang UU Tapera, Pekerja Tak Harus Jadi Peserta

MK Perintahkan Penataan Ulang UU Tapera, Pekerja Tak Harus Jadi Peserta

Makhkamah Kontstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan pengujuan UU No.4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Dalam amar putusan tersebut MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tetang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Putusan No. 96/PUU-XXII/2024 itu juga mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Tapera. Namun begitu menurut Ketua MK Suhartoyo, UU Tapera dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan a quo ini ditetapkan.

Pertimbangan hukum mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan, adanya kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera agar dapat mencapai tujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang sebagaimana tujuan Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2016, maka hal ini menimbulkan kontradiksi dengan kemudahan yang dimaksudkan dalam UU No. 1 Tahun 2011.

“Terlebih peserta Tapera termasuk di dalamnya pekerja dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Padahal tanpa wajib menjadi peserta, setiap pekerja juga sudah dapat mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema,” kata Saldi dikutip dari siaran persnya, Senin (29/09).

Maka dari itu mahkamah menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban apalagi disertai dengan sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping) tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada.

Tapera juga bukan satu-satunya instrumen seperti halnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki akses langsung terhadap skema perumahan resmi yang dijalankan PT Taspen Properti Indonesia (Taspro), sedangkan bagi prajurit TNI dan anggota Polri serta ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Polri juga dapat mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri.

Di luar program tersebut, masyarakat juga masih memiliki opsi pembiayaan perumahan melalui berbagai skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam pertimbangan lain, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, Pasal 7 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma karena esensinya untuk pengerahan dana dengan cara pemupukan dana dari peserta, dalam hal ini pekerja. Namun, jika kata ‘wajib’ dalam norma itu diubah menjadi kata ‘dapat’ sebagaimana petitum Pemohon, maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU ini.

“Oleh karena itu perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD Tahun 1945. Sebab Pasal 7 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 sesungguhnya merupakan “pasal jantung” (core norm) dari keseluruhan sistem Tapera dalam UU tersebut yang berlandaskan prinsip kewajiban menjadi peserta tersebut,” jelasnya.

Baca juga: Jokowi Teken PP Tapera yang Wajibkan Pekerja Bayar Iuran Perumahan

Tapera dibentuk dengan konsep ‘tabungan’ tetapi hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun. Skema demikian secara inheren tidak mampu memenuhi tujuan utama yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.

Karena itu, pembentuk undang-undang harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalah central public housing agar dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.

“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat 1 UU No. 4 Tahu 2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” imbuhnya.

Dengan telah dinyatakannya Pasal 7 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka konsekuensi yuridisnya ketentuan Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 17 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 sebagaimana yang didalilkan pula oleh Pemohon, kehilangan dasar konstitusionalnya.

Secara yuridis berlaku asas accessorium sequitur principale, norma yang bersifat aksesori tidak dapat berdiri sendiri apabila norma utama atau pasal jantung dibatalkan. Karena Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 yang mengatur mekanisme kewajiban mendaftar pekerja dan pekerja mandiri sebagai peserta Tapera serta Pasal 17 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 yang menyatakan ‘simpanan Tapera dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja’ merupakan kelanjutan dari kewajiban Pasal 7 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2016 sebagai norma utama.

Kemudian, Pemohon juga mempermasalahkan keberadaan norma delegatif dalam Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut tata cara kepesertaan dan simpanan melalui peraturan pemerintah. Meskipun pasal ini secara redaksional tidak mengatur substansi kewajiban, melainkan hanya memberi kerangka teknis, tetapi keberlakuannya tetap tidak dapat dipertahankan karena norma delegatif tersebut tidak lagi memiliki pijakan.

Dengan berbagai kondisi ini, mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu (grace period) yang dinilai cukup bagi pembentuk undang-undang untuk menata ulang pengaturan. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu memperhitungkan secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.

Mahkamah menilai pembatalan seketika terhadap UU No. 4 Tahun 2016 tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti BP Tapera dan lembaga keuangan terkait. Karena itu untuk menghindari kekosongan hukum mahkamah memberikan tenggang waktu paling lama dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menata ulang sesuai dengan amanat UU No. 1 Tahun 2011.

Berita Terkait

Ekonomi

Di Tengah Gejolak Ekonomi, Masyarakat Punya Kebiasaan Bagus Untuk “Win This Economy”

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia...

Bank Mandiri: Pertumbuhan Penjualan Eceran Melambat

Survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan kinerja penjualan eceran diperkirakan...

Premi Risiko Investasi RI Naik Tajam, Modal Asing Masih Terus Keluar

Premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia...

Berita Terkini