Sabtu, September 6, 2025
HomeNasionalSubak, Sistem Pembagian Air Berkeadilan di Pulau Dewata

Subak, Sistem Pembagian Air Berkeadilan di Pulau Dewata

Forum Air Dunia ke-10 akan dilangsungkan di Bali, Indonesia, mulai besok 18 Mei sampai 25 Mei 2024. Event yang akan diikuti belasan kepala negara, berbagai lembaga dunia di bawah PBB, NGO, para dubes negara sahabat, serta berbagai pihak terkait lainnya itu akan membahas empat topik dalam 244 sesi: konservasi air (water conservation), air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation), ketahanan pangan dan energi (food and energy security), serta mitigasi bencana alam (mitigation of natural disasters).

World Water Forum ke-10 diharapkan memberikan hasil konkret mengenai pengarusutamaan pengelolaan air terpadu untuk pulau-pulau kecil (Integrated Water Resources Management on Small Islands), pembentukan pusat keunggulan atau praktik terbaik untuk ketahanan air dan iklim (Centre of Excellence on Water and Climate Resilience), serta penetapan Hari Danau Sedunia.

Selain mengikuti aneka pertemuan dan diskusi, peserta forum juga akan diajak mengunjungi Desa Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali, untuk melihat praktik tata kelola air dengan kearifan lokalnya Subak. Menurut Menparekraf Sandiaga Uno saat mengunjungi Desa Jatiluwih awal Mei lalu, pengelolaan air di beberapa lokasi di Bali yang penuh dengan kearifan lokal sudah mendapatkan pengakuan UNESCO, dan karena itu siap ditampilkan dalam Forum Air Dunia sebagai contoh pengelolaan air yang berkeadilan.

Subak memang sudah kerap diulas. Tapi, kali ini terkait penyelenggaraan Forum Air Dunia, mungkin perlu ditampilkan lagi sebagai pembelajaran yang mudah-mudahan memicu kesadaran tentang betapa berharganya air dalam kehidupan ini, dan karena itu harus dikelola dengan seksama dan didistribusikan secara adil. Sumber tulisan sepenuhnya dari artikel di laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika tertanggal 5 Mei 2024 dengan judul seperti sudah dituliskan di atas, dengan sedikit perbaikan kalimat di sana-sini. Berikut artikel tentang Subak itu.

Pemandangan alam yang memukau menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Dewata, selain kekayaan tradisi dan budayanya. Tak jarang pemandangan alam yang indah itu terbentuk berkat tradisi dan budaya yang dijaga sekian lama. Salah satunya yang kerap menjadi perhatian dunia, pemandangan hamparan sawah berundak-undak seluas 300 hektar di dataran tinggi Bali di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Hamparan sawah yang ditanami padi itu menghiasi sepanjang jalannya.

Hamparan sawah yang bertahan sejak ratusan tahun lalu itu tumbuh subur, berkat bantuan sistem pengairan yang adil bagi seluruh petani. Sistem pengairan dikelola bersama melalui organisasi yang dikenal dengan istilah subak. Subak Jatiluwih menjadi salah satu contoh sistem pengairan sawah khas Pulau Dewata. Caranya, dengan memanfaatkan parit sebagai penampungan air yang kemudian dialirkan ke area persawahan di bawahnya.

Pengelola Subak Jatiluwih John K Purna yang juga menekuni pertanian menjelaskan, para petani di wilayah tersebut sudah bergabung dalam kelompok secara turun-temurun. Tidak diketahui sejak kapan masyarakat di Jatiluwih menggunakan sistem irigasi subak. Saat ini kelompok petani dibagi dalam tujuh tempekan yang dipimpin oleh ketua adat yang disebut Pekaseh. Satu kelompok rata-rata terdiri 35 petani, sehingga seluruh petani berjumlah 254 orang.

Tradisi pertanian Subak itu bisa terus bertahan karena dijalankan berlandaskan keadilan. Tercermin dari pembagian air yang merata bagi seluruh anggota petani. Masyarakat juga mempertahankan sistem gotong royong untuk memelihara parit dan merawat subak agar selalu bersih dan mampu mengairi air ke sawah-sawah mereka. “Leluhur kami dulu tahu dimana sumber air. Jadi, dari atas dibuat parit penampung dan dialirkan ke sawah. Jadi, tergantung berapa besaran lahan yang mereka punya, sebanyak itu air yang diberikan. Ini tradisi yang terus kami pertahankan,” kata John.

Di sejumlah titik kawasan Subak Jatiluwih terdapat tembuku atau tempat pembagian air. Dari tempat itu air akan masuk ke parit yang disemen, lalu mengalir satu per satu dari sawah paling atas ke hilir tanpa bantuan mesin apapun. “Kalau sawah di luar Bali umumnya mengambil air sebisanya, ada air di bawah diangkat secara manual, sementara disini tidak boleh. Semua sumber air mengalir, tidak bisa tiba-tiba ambil air orang,” jelasnya.

Penduduk meyakini, warisan budaya yang diakui UNESCO itu terus eksis berkat implementasi Tri Hita Karana yang terus diamalkan. Mereka tidak hanya menjaga keseimbangan dengan manusia, namun juga dengan alam, dan dengan Tuhan. Akhirnya, seluruh elemen bekerja merawat sawah di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu.

Sumber air
Setiap hari air yang mengairi Subak Jatiluwih berasal dari Hutan Batukaru. Tumbuhan lebat di hutan itu menyimpan air saat musim hujan dan mengeluarkan air saat kemarau. Kekayaan hutan kemudian dimanfaatkan. Air dari sana mengalir ke tebing-tebing dan diarahkan ke tanggul atau parit dan dari sana air mengalir ke sawah. Sampai saat ini masyarakat Jatiluwih tidak pernah bermasalah memenuhi kebutuhan air. Selain karena ditampung di tanggul, Tabanan memiliki sejumlah lokasi mata air. Apalagi, pembagian air dilakukan berlandaskan keadilan dan gotong royong, sehingga tak perlu ada kekurangan.

Budaya pertanian Subak Jatiluwih tidak hanya soal sistem pengairannya yang khas, namun kekompakan mereka dalam bertani. Jika di daerah lain setiap pemilik sawah bisa bekerja sesukanya, di Jatiluwih berbeda. Mereka selalu menanam dan memanen secara serentak. Bahkan, tanaman padi yang ditanam juga wajib jenis beras merah pada masa tanam musim hujan. Saat musim tanam bulan Desember seluruh petani memiliki waktu seminggu untuk masa penanaman. Mereka akan merawat sawahnya hingga Mei ketika padi mulai menguning dan Juni mulai panen.

Jatiluwih yang khas dengan beras merahnya itu, menghasilkan produk dua kali lipat dari beras biasa. Dalam sekali panen petani bisa mendapat 5-6 ton beras merah per hektare. Tinggi tanaman padi yang menghasilkan beras merah sekitar 2 meter, sedangkan padi biasa hanya 1 meter. Wilayah yang saat ini menjadi salah satu daya tarik wisata Pulau Dewata itu, terus dikembangkan agar tetap bertahan dengan contohnya mendorong penerapan pertanian organik.

Ilustrasi wisatawan mancanegara saat mengunjungi hamparan sawah berundak-undak yang dikelola dengan sistem Subak di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali. (Dok. Kementerian Komunikasi dan Informatika)

Saat ini baru 5 persen petani yang menerapkan pertanian organik. Persentase yang masih rendah ini karena modal awal membuat pertanian organik tidak sedikit. Namun, pasar bagi beras organik terbuka lebar. Bahkan, selisih harga jualnya mencapai Rp10.000 per kilogram dibanding beras biasa. Bila Jatiluwih kembali dapat mendobrak kekurangan ini, maka mereka dapat semakin terkenal dan memiliki kekhasan selain di luar kekhasan sistem pengairan sawahnya. Kekayaan tradisi Subak Jatiluwih telah mengantarkan mereka sebagai salah satu lokasi yang dipilih untuk karyawisata delegasi World Water Forum (WWF) ke-10.

Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Subak Jatiluwih, sudah merancang kegiatan untuk peserta forum yang nanti akan melihat sawah berundak-undak di sana. Para delegasi, utamanya kepala negara, dijadwalkan hadir pada Jumat, 24 Mei 2024. Panitia akan menyajikan teh beras merah khas Jatiluwih, disertai pentas Tari Metangi dan pertunjukan aktivitas pertanian sehari-hari. Sejumlah pemandu disiapkan untuk memaparkan budaya pertanian di sana, terutama bagaimana air diatur subak untuk kesejahteraan bersama.

Di sepanjang hamparan sawah terasering, terdapat lintasan joging yang selalu digunakan wisatawan untuk melihat subak lebih dekat. Namun, dalam kunjungan delegasi kali ini pengelola memperkirakan hanya sampai di pinggir jalan sebelum memasuki jalur trek. Rata-rata dalam sehari 1.000 wisatawan datang ke DTW tersebut untuk menyusuri sawah selama 1-2 jam. Sekitar 85 persen di antara mereka adalah wisatawan mancanegara, terutama Eropa. Menteri Sandiaga Uno sudah memastikan kesiapan Desa Jatiluwih memamerkan budaya tata kelola air dengan kearifan lokalnya kepada delegasi World Water Forum ke-10.

Berita Terkait

Ekonomi

Belasan Investor Kazakhstan Lirik IKN

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia...

Program Perumahan Salah Satu yang Diharapkan Buka Lapangan Kerja

Pemerintah terus menjalin kolaborasi dengan pelaku usaha untuk membuat...

Menko Airlangga Minta Pengusaha Tahan PHK dan Buka Program Magang Berbayar untuk Sarjana Baru

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para pengusaha...

Berita Terkini