P3RSI Tolak Pengenaan PPN Terhadap “Service Charge” Apartemen

Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), menolak rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap service charge atau Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) pada rumah susun atau apartemen.
Hal itu ditegaskan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) P3RSI Adjit Lauhatta dalam konferensi pers talk show P3RSI dengan tema “IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN?” di Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Adjit didampingi antara lain oleh Sekjen P3RSI Nyoman Sumayasa, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) sebuah apartemen di Jakarta Pusat Kian Tanto, praktisi perpajakan Budi Hermawan, dan pengurus Realestate Indonesia (REI) yang membidangi apartemen/rumah susun.
Talk show dihadiri pengurus DPP P3RSI, DPD P3RSI Jawa Timur, pengurus PPPSRS se-Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya, profesional property management, dan konsultan pajak.
Menurut Adjit, sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, PPPSRS adalah organisasi nirlaba yang didirikan pemilik dan penghuni apartemen untuk mengatur dan mengurus hak dan kewajiban bersama, guna menciptakan kehidupan di apartemen yang aman, tertib, dan sehat berdasarkan azas kekeluargaan.
IPL yang dihimpun PPPSRS dari penghuni apartemen adalah dana “urunan atau patungan” untuk membiayai pengelolaan dan perawatan tanah bersama, benda bersama, dan bagian bersama di sebuah apartemen, serta kehidupan penghuninya secara umum.
“Serupa dengan warga di perumahan tapak yang urunan dana (IPL) untuk biaya kebersihan dan keamanan melalui RT/RW. Karena itu IPL yang dihimpun PPPSRS itu tidak layak dikenai pajak,” kata Adjit.
Ia menyebutkan, beberapa waktu lalu sejumlah anggota P3RSI sudah mendapatkan “surat cinta” dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama, berisi imbauan melaporkan usahanya untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Setelah mendatangi kantor pajak untuk menanyakan dan mendiskusikan surat tersebut, tampaknya kantor pajak ingin menjadikan dana IPL apartemen sebagai obyek PPN.
“Hal itu membuat pengurus PPPSRS resah, karena mencukupi pendanaan pengelolaan dan perawatan apartemen yang sangat tinggi itu tidak mudah. Seringkali biaya pengelolaan apartemen defisit, karena pengurus kesulitan menarik service charge dari penghuni,” jelas Adjit.
Menaikkan IPL juga sama tidak mudahnya. Harus mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Tahun Anggota (RUTA), dan tidak jarang mendapatkan perlawanan dari penghuni yang keberatan dengan kenaikan itu, sehingga rapat kerap gaduh dan memicu bentrok fisik.
“Boro-boro menaikkan IPL, dengan tarif IPL yang lama saja banyak penghuni yang menunggak. Apalagi jika ditambah PPN 11 persen, pasti penghuni makin terbebani dan keberatan,” ujar Adjit.
Ia menyatakan, bila service charge aparteman dikenakan PPN, logikanya IPL perumahan tapak yang ditarik RT/RW juga demikian. Selaras dengan prinsip UU Perpajakan yang setara untuk semua. Kenyataannya sejak dulu IPL yang dipungut RT/RW tidak pernah dipajaki.
Kian Tanto mengungkapkan, karena sulitnya memenuhi biaya pengelolaan dan perawatan apartemen dari IPL yang dibayar penghuni, pengurus harus mencari pendapatan lain-lain seperti menyewakan ruang-ruang pada bagian bersama, benda bersama, untuk aktivitas komersial.
Bahkan, karena cara itu pun tetap tidak mencukupi, saat harus melakukan perbaikan atau pemeliharaan dan penggantian benda dan bagian bersama yang cukup besar, pengurus PPPSRS meminta penghuni patungan untuk memenuhi biayanya yang lazimnya menggunakan dana sinking fund.
Baca juga: Regulasi Rusun Masih Jadi Sumber Konflik
“Apalagi sejak pandemi Covid-19 banyak penghuni mengalami kesulitan ekonomi dan menunggak pembayaran IPL. Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana kalau IPL dikenakan PPN, pasti makin banyak penghuni yang menunggak service charge,” tutur Kian.
Praktisi pajak Budi Hermawan menyatakan, dalam hal IPL sebagai obyek pajak, kategorinya adalah obyek pajak Jasa Pelayanan Sosial sebagaimana diatur dalam SE Ditjen Pajak Nomor 01/PJ33/1998, yang diserasikan dengan pengelolaan lingkungan yang dilakukan RT/RW, sehingga sewajarnya tidak dikenakan PPN.
Karena merupakan layanan sosial, PPPSRS menarik service charge bukan untuk mencari laba untuk dibagikan kepada anggotanya. Tidak ada kepemilikan anggota dalam PPPSRS yang dapat diperjualbelikan, sebagaimana kepemilikan saham dalam perseroan terbatas.
“Karena itu pemerintah harusnya tidak mengenakan PPN IPL kepada PPPSRS, sebagai penanggung jawab pengelolaan rumah susun. Tapi sebaliknya, mendukung karena dampak ekonomi pengembangan dan pengelolaan rusun cukup signifikan terhadap perekonomian,” ujar Budi.