BI: Transaksi Digital Melesat, Mitigasi Risiko Perlu Diperkuat

Transaksi ekonomi dan keuangan digital terus melesat. Pada triwulan II 2024, Bank Indonesia (BI) mencatat, transaksi digital banking mencapai 5,26 miliar, meningkat 32,03 persen secara tahunan (yoy).
Sementara transaksi uang elektronik tumbuh 36,22 persen, mencakup 3,87 miliar transaksi, dan transaksi QRIS meroket 226,54 persen dengan 50,5 juta pengguna dan 32,71 juta merchant.
Keterangan resmi BI melalui Asisten Gubernur/Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono, Sabtu (3/8/2024), menyatakan, peningkatan transaksi digital itu akan terus berlangsung sejalan dengan pergeseran preferensi masyarakat yang lebih menyukai transaksi digital, dan tingginya laju inovasi digital.
Namun, di sisi lain perkembangan transaksi digital yang pesat itu, juga mendatangkan berbagai risiko yang dapat merugikan masyarakat secara luas. Karena itu pada saat bersamaan diperlukan terobosan kebijakan dan peningkatan literasi digital yang masif.
Dengan kata lain, laju inovasi dan transaksi digital yang cepat, perlu diimbangi dengan manajemen risiko yang kuat. Termasuk penguatan keamanan sistem, serta penerapan prinsip KYC (Know Your Customer) dan KYM (Know Your Merchant) di lembaga keuangan.
“Di sisi otoritas, penguatan harmonisasi kebijakan dan pengaturan perlindungan konsumen, perlu terus dilakukan,” kata Deputi Gubernur BI Doni P Joewono dalam casual talk “Digital Leap: Paving The Way for Economic and Finance Transformation”, di Jakarta, Sabtu (3/8/2024).
Diskusi itu merupakan bagian dari Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) x Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2024, yang diselenggarakan BI selama 1-4 Agustus 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
Doni menyatakan, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 yang disusun BI dan diluncurkan saat pembukaan FEKDI x KKI, sudah menggariskan perlunya memperkokoh manajemen risiko dalam ekonomi dan keuangan digital (EKD).
Yaitu melalui, pertama, mendorong peran aktif masyarakat agar tidak hanya menjadi pengguna, namun juga memahami berbagai risiko transaksi digital seperti ancaman siber dan fraud, melalui berbagai program literasi EKD nasional dan daerah.
Kedua, mendorong industri dan asosiasi agar dalam membentuk ekosistem digital, mengedepankan inovasi dan investasi teknologi pengamanan infrastruktur berlapis, guna menangkal ancaman siber yang kian kompleks.
Ketiga, sinergi dan kolaborasi yang kuat antar otoritas moneter, kementerian/lembaga, serta industri dan asosiasi, dalam membangun ekosistem EKD yang sehat termasuk dalam penyusunan regulasi yang adaptif dan melindungi masyarakat.
Baca juga: Ekonomi Digital Melesat, Presiden Minta Perlindungan Konsumen Diperkuat
Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam Leader’s Insight Casual Talk “Apa-apa Digital, Apa-apa Cyber, Ada apa Sih?”, menyampaikan hal senada.
“Derasnya laju akselerasi digital perlu diimbangi dengan literasi dan pelindungan konsumen dalam kecepatan yang sama, guna memitigasi masifnya serangan siber,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, pada inisiatif infrastruktur dalam BSPI 2030, BI sudah menyebutkan akan mengembangkan BI-Payment Clear sebagai skema memperkuat kapasitas industri dan manajemen risiko dan EKD.
Industri sistem pembayaran dituntut memperkuat TIKMI (teknologi, interkoneksi, kompetensi, manajemen risiko, dan infrastruktur teknologi). Pada inisiatif inovasi, akseptasi digital yang telah berjalan akan dilanjutkan dan diperkuat melalui program literasi digital.