Sharing Pengalaman Penyediaan Rumah Layak Huni dan Terjangkau di Jakarta dan Hongkong

Pemerintah sudah berusaha melalui berbagai program menyediakan rumah dan permukiman layak huni bagi masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Kendati demikian, berbagai upaya tersebut tetap belum mampu memenuhi kebutuhan.
Akumulasi kekurangan pengadaan (backlog) rumah memang disebut tinggal 9,9 juta unit per akhir 2024. Artinya tinggal 9,9 juta kepala keluarga di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum memiliki rumah sendiri.
Kendati demikian, sampai saat ini masih terdapat sekitar 26 juta KK yang tinggal di rumah yang belum layak huni atau di permukiman kumuh. Tidak layak huni bukan hanya bangunan rumah dan fasilitasnya, tapi juga lingkungan permukimannya.
Salah satu penyebab sulitnya menyediakan rumah yang layak huni bagi warga urban, adalah harga tanah dan rumah yang tak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Karena itu muncul permukiman swadaya seperti kampung kota.
Permukiman swadaya itu menimbulkan permukiman yang semrawut dan kumuh dengan sanitasi dan lingkungan ala kadarnya, namun merupakan pilihan masuk akal bagi warga negara untuk memenuhi haknya punya rumah sendiri.
Persoalan penyediaan perumahan yang layak huni bagi warga kota yang kompleks ini, bukan monopoli Jakarta dan kota besar lain di Indonesia, tapi juga banyak kota di banyak negara seperti Hong Kong.
Tidak sebandingnya harga tanah dan rumah dengan kemampuan dan kemauan membayar warga, juga menyuburkan tipe-tipe rumah yang unik di Hong Kong, salah satu kota dengan harga rumah termahal di dunia.
Bagaimana pemerintah Hong Kong dan Indonesia, khususnya Jakarta, menyikapi fenomena tersebut? Apa upaya pemerintah memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni bagi warganya? Tipe-tipe rumah seperti apa yang muncul sebagai usaha memenuhi hak tersebut?
Baca juga: Kementerian PUPR Ubah Kawasan Kumuh Mrican Jadi Sehat dan Layak Huni
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta bersama RECEH UI (Research Courses of Housing Universitas Indonesia), membahasnya dalam sebuah diskusi Kamis (13/3/2025) pekan lalu di Jakarta.
Diskusi yang disertai pameran karya arsitektur itu, mengambil format berbagi pengalaman perencanaan dan pembangunan rumah layak huni dan terjangkau di Hong Kong dan Jakarta.
Menghadirkan Prof. Eunice M. F. Seng (The University of Hong Kong), yang membagikan dinamika pengalaman Hong Kong dan Singapura dalam menyediakan rumah dan permukiman yang layak huni dan terjangkau.
Kemudian Vincentius Hermawan MMSt, B.Arch, IAI (Urban Plus), yang menyajikan ide merancang rumah layak huni dengan harga terjangkau di Indonesia berdasarkan standar nasional, melalui pengalamannya sebagai arsitek profesional.
Lalu Joko Adianto PhD, IAI (RECEH UI) yang menyampaikan hasil penelitiannya di bidang perumahan dan permukiman perkotaan, yang menyatakan perlunya pemerintah menumbuh-kembangkan tipe-tipe non-market housing sebagai pilihan bagi warga kota yang belum mampu membeli rumah di kawasan real estate.
Guna mengembangkan diskusi kritis dan memanen pengetahuan bersama, diskusi juga mengundang Iwan Kurniawan, M.T. (Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jakarta), dan Adhamasky Pangeran, S.T (Ketua Ikatan Ahli Perencana Jakarta) sebagai panelis.
Hasil diskusi dengan tema yang menarik ini kiranya perlu dipublikasikan sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi para pemangku kepentingan di bidang perumahan.