Penjualan Merosot, Manufaktur Indonesia Nyungsep, Kembali ke Zona Kontraksi

Industri pengolahan atau manufaktur Indonesia menghadapi pukulan berat dari ketidakpastian pasar global akibat perang tarif yang digulirkan Amerika Serikat (AS), maupun karena kondisi pasar domestik yang terus dibanjiri produk impor.
Tercemin dari merosotnya Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia April 2025 ke level 46,7, atau kembali ke fase kontraksi (indeks di bawah 50), menurut laporan S&P Global.
“Penurunan PMI April sangat signifikan, hingga 5,7 poin dibanding Maret yang masih berada di fase ekspansi dengan indeks 52,4. Ini menandakan optimisme atau kepercayaan diri para pelaku industri manufaktur Indonesia merosot di tengah situasi uncertainty saat ini,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief, melalui keterangan resmi, Jumat (2/5/2025).
Ia mengungkapkan, kemerosotan PMI manufaktur Indonesia April 2025 tercatat paling dalam dibanding negara-negara peers. Di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansi, karena kebijakan tarif AS lebih rendah untuk mereka dibanding negara-negara lain, dan kebijakan perlindungan pasar dalam negeri Filipina cukup afirmatif.
Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025 antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). PMI manufaktur China masih berada di fase ekspansi (50,4), tapi melambat dibanding Maret 2025 dan mendekati fase kontraksi.
Usamah Bhatti, ekonom S&P Global Market Intelligence menyebutkan, manufaktur di Indonesia mencatat kondisi kesehatan yang kurang baik memasuki triwulan dua 2025. “Ini kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output (produksi). Selain itu penurunan tajam sejak Agustus 2021,” ungkapnya.
Penjualan merosot, sejumlah perusahaan mengurangi pembelian dan perekrutan pekerja serta stok input dan barang jadi. “Perkiraan jangka pendek masih suram, karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan. Tampaknya kondisi ini akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang,” ujar Bhatti.
Tahun lalu selama lima bulan berturut-turut sejak Juli 2024, PMI manufaktur Indonesia terkontraksi (indeks <50). Pada November 2024 misalnya, tercatat di level 49,6 sebelum kembali ke zona ekspansi (ndeks >50) dengan indeks 51,9 pada Desember 2024.
Angkanya terus naik pada Januari 2025 menjadi 51,9 dan mencapai puncaknya pada Februari menjadi 53,6, sebelum kembali menurun pada Maret menjadi 52,4.
Baca juga: Meski Diwarnai Penutupan Sejumlah Pabrik, Februari PMI Manufaktur Indonesia Catat Rekor
Juru bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief waktu itu menyatakan, perayaan keagamaan seperti Ramadan dan Lebaran selalu menjadi titik lonjakan permintaan produk manufaktur, yang diikuti dengan kenaikan PMI. Namun pada Maret 2025 hal itu tidak terjadi sehingga PMI Indonesia kembali merosot.
“Momentum Ramadan dan Lebaran 2025 hanya mampu menahan PMI agar tidak merosot lebih dalam. Kalau tidak ada perayaan hari besar keagamaan Maret, PMI Maret 2025 bisa turun lebih dalam,” katanya.
Febri menambahkan, berdasarkan laporan perusahaan industri, penjualan produk manufaktur terutama produk makanan, minuman serta tekstil dan produk tekstil (TPT), menurun menjelang lebaran. Antara lain karena pelemahan daya beli masyarakat dan banjir produk impor.
“Kinerja industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada pasar domestik, karena hampir 80 persen dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, swasta dan rumah tangga. Hanya 20 persen yang diekspor,” ungkapnya.
PMI adalah indikator ekonomi yang menunjukkan kondisi industri pengolahan. Indeks PMI didapat dari survei bulanan terhadap manajer pembelian (purchasing) perusahaan manufaktur.
PMI ekspansi menunjukkan manufaktur bergairah karena permintaan meningkat, yang selanjutnya menaikkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja. Karena penjualan meningkat dan stok berkurang, perusahaan meningkatkan pembelian bahan baku dan lain-lain yang tercermin dari ekspansi PMI.
Febri melalui keterangan tertulis akhir pekan ini menjelaskan, PMI adalah survei persepsi yang menunjukkan tingkat keyakinan (optimis atau pesimis) pelaku manufaktur dalam menjalankan usahanya.
“PMI manufaktur April 2025 menunjukkan ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha, dalam merespon perang tarif global dan banjir produk impor di pasar domestik,” terangnya.
Baca juga: Kemenperin: Permendag 8/2024 Penyebab PMI Manufaktur Terus Terkontraksi
Kontraksi PMI Manufaktur Indonesia April 2025 itu, sejalan dengan hasil survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) April 2025 yang dilakukan Kemenperin, yang tercatat di level 51,90. Meskipun masih di fase ekspansi, lajunya melambat 1,08 poin dibanding Maret 2025 sebesar 52,98, dan 0,40 poin dibanding April 2024.
Febri mengemukakan, pelaku industri manufaktur masih menunggu hasil negosiasi Indonesia dengan AS soal tarif perdagangan. Karena itu mereka dalam posisi wait and see dan belum berani berkespansi.
Selain itu pelaku manufaktur juga mengkhawatirkan serbuan produk impor dari sejumlah negara yang terdampak tarif yang dikenakan Presiden AS Donald Trump itu.
“Mereka menunggu kebijakan strategis dari pemerintah yang melindungi industri dalam negeri, sehingga berdaya saing di pasar domestik atau menjadi tuan rumah di negara sendiri,” tutup Febri.