Iwan Sunito: Sudah Waktunya Transaksi Properti Inden di Indonesia Direformasi

Di kebanyakan negara termasuk Indonesia, pemasaran properti dilakukan secara preproject selling. Konsumen membeli properti masih berupa gambar, dengan janji serah terima sekian waktu kemudian atau inden. Untuk itu konsumen membayar tanda jadi, diikuti dengan uang muka.
Bedanya di banyak negara, penyetoran uang muka itu dilakukan ke rekening penampung (escrow account) di bank yang ditunjuk sebagai wali amanat (trustee). Sedangkan di Indonesia uang muka dari konsumen itu langsung disetor ke rekening developer.
Menurut Iwan Sunito, CEO One Global Capital, perusahaan investasi properti di Australia, negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Australia, Selandia Baru, UEA, Korsel, Jepang, Thailand, dan India (parsial), sudah menerapkan setoran uang muka dan cicilan konsumen ke escrow account.
Setoran uang muka atau cicilan itu tidak bisa dimanfaatkan pengembang, kecuali setelah proyek jadi dan diserahterimakan. Jadi pengembangan proyek sepenuhnya menjadi tanggungan pengembang, dengan modal sendiri atau modfal sendiri plus kredit bank.
“Sedangkan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Kamboja, masih menerapkan setoran uang muka pembelian properti langsung ke rekening developer,” kata pengembang Australia asal Surabaya itu, dalam bincang santai dengan media di Jakarta, Jum’at (27/6/2025).
Baca juga: Bank Dunia: Program 3 Juta Rumah Butuh Reformasi Regulasi Perumahan
Karena itu transaksi properti inden di Indonesia rawan, posisi konsumen menjadi rentan bila pengembang wan prestasi. Setelah menerima duit konsumen, pengembang kabur dan tidak membangun proyeknya. Atau proyek dibangun, tapi spek dan fasilitasnya tidak sesuai janji, atau serah terima proyek molor dari janji.
Sudah begitu banyak kasus wan prestasi tersebut yang mengemuka tanpa konsumen bisa menuntut atau menerima pengembalian uangnya.
Kasus terbaru, proyek perumahan mewah PMC besutan PT LPRE di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, yang mangkrak sejak 2019 setelah pengembangnya meraup dana Rp304 miliar dari 184 konsumen.
Karena itu Iwan menyarankan pemerintah Indonesia segera mereformasi transaksi properti inden tersebut, menjadi serupa seperti di negara-negara yang disebutkan di atas.
Reformasi itu akan memastikan developer melakukan serah terima properti kepada konsumen sesuai janji, dengan spek dan fasilitas yang memenuhi standar.
Baca juga: Konsumen Properti sebagai Kreditur Baik Hati
Apalagi, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mencanangkan program pembangunan rumah yang masif, mencakup 3 juta unit per tahun. Bila mekanisme transaksi properti inden itu tidak direformasi, program 3 juta rumah itu bisa memunculkan 3 juta problem juga bagi pemerintah dan konsumen.
“Kasihan konsumen yang pasti orang-orang kecil dengan pendapatan terbatas. Sudah menyetor uang muka dan mencicil tapi tidak menerima rumahnya. Atau menerima rumahnya tapi dengan spek dan fasilitas yang asal-asalan,” tutup Iwan.
Selain itu, reformasi mekanisme transaksi properti inden juga diperlukan untuk menciptakan level playing field di bisnis properti.
Dengan buyers deposit disetor ke escrow account, potensi munculnya pengembang brengsek yang merusak kepercayaan pasar bisa diminimalisir, yang membuat investasi di sektor properti lebih bergairah yang berdampak sangat positif terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja.