Senin, Oktober 20, 2025
HomeNewsEkonomiSurvei S&P Global: PMI Manufaktur Indonesia Membaik, Mendekati Zona Ekspansi

Survei S&P Global: PMI Manufaktur Indonesia Membaik, Mendekati Zona Ekspansi

Manufaktur atau industri pengolahan adalah penopang utama perekonomian. Pasalnya manufaktur menciptakan lapangan kerja formal, memberikan nilai tambah tinggi terhadap perekonomian, dan menyerap banyak tenaga kerja.

Karena itu perkembangan manufaktur selalu mendapat sorotan, antara lain melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) yang dilansir lembaga rating Standard & Poors (S&P) Global secara berkala.

PMI adalah indikator kondisi manufaktur, yang didapat dari survei bulanan terhadap manajer pembelian (purchasing) di industri pengolahan.

PMI ekspansi (indeks >50) menunjukkan manufaktur bergairah karena permintaan meningkat, yang selanjutnya menaikkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja.

Karena penjualan meningkat dan stok berkurang, perusahaan meningkatkan pembelian bahan baku dan lain-lain yang tercermin dari ekspansi PMI.

PMI kontraksi (indeks <50) menunjukkan sebaliknya. Manufaktur melesu karena permintaan menurun, yang selanjutnya menurunkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja.

Karena penjualan menurun dan stok tidak berkurang, perusahaan mengurangi pembelian bahan baku dan lain-lain yang tercermin dari kontraksi PMI.

Selama 4 bulan terakhir (April-Juli) tahun ini PMI manufaktur Indonesia mengalami kontraksi, setelah 3 bulan sebelumnya (Januari-Maret) berada di zona ekspansi.

Pada Januari PMI manufaktur Indonesia tercatat 51,9 persen, Februari 53,6, dan Maret 52,4. Setelah itu pada April PMI manufaktur itu merosot ke zona kontraksi dengan indeks 46,7, kemudian membaik menjadi 47,4 pada Mei, lalu turun lagi menjadi 46,9 pada Juli, untuk kemudian membaik signifikan (2,3 poin) pada Juli menjadi 49,2 atau mendekati zona ekspansi.

Baca juga: Kinerja Manufaktur Meningkat, Pelaku Industri Naikkan Produksi Meski Masih Hati-Hati

Menurut Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief, PMI manufaktur Juli 2025 itu melampaui PMI manufaktur Jepang (48,8), Prancis (48,4), Inggris (48,2), Korea Selatan (48,0), dan Taiwan (46,2).

“Perbaikan PMI itu merupakan refleksi dari membaiknya sentimen pelaku industri dalam beberapa pekan terakhir. Dalam beberapa minggu terakhir terdapat dinamika kebijakan dan kesepajatan yang membuat pelaku industri lebih optimistis,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Salah satunya, terjalinnya kesepakatan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). “Berkat kepiawaian Presiden Prabowo dalam bernegosiasi, Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibanding dengan negara-negara pesaing. Ini modal penting peningkatan daya saing industri nasional,” jelas Febri.

Sentimen lain adalah kesepakatan perjanjian dagang komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa, melalui Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Perjanjian dagang ini akan membuka hambatan ekspor yang selama ini dihadapi produk-produk manufaktur Indonesia ke Uni Eropa, dan akses pasar yang lebih luas ke berbagai negara di benua tersebut.

Sentimen berikutnya adalah revisi Permendag 8 Tahun 2024 yang mendorong kenaikan kepercayaan pelaku industri dalam negeri terhadap prospek produknya di pasar domestik.

“Setelah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mendapat perlindungan melalui revisi Permendag 8/2024, pelaku usaha di sektor lain menanti kebijakan serupa yang mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian dalam persaingan pasar,” ujar Febri.

Pekau industri juga menanti kepastian teknis dari kesepakatan dagang Indonesia dengan AS, khususnya terkait isu non-tariff barriers (NTB) dan non-tariff measures (NTM).

Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah, kemungkinan produk bermerek AS namun diproduksi di luar AS seperti di China atau India, tetap mendapat fasilitas bebas bea masuk. “Bagi Kemenperin, hanya barang yang benar-benar diproduksi di Amerika Serikat yang layak mendapat bea masuk nol persen,” tegas Febri.

Ia juga menyoroti kekhawatiran pelaku industri terhadap keberlanjutan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya untuk izin edar handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT). “TKDN yang dibebaskan itu (harusnya) diberlakukan bagi barang-barang yang tidak bisa atau belum diproduksi industri dalam negeri,” tutur dia.

Febri menyatakan, kebijakan TKDN memanfaatkan demand pemerintah. Adanya demand dan kebijakan TKDN, akan memicu pengusaha berinvestasi dan membangun pabrik di Indonesia karena demand-nya sudah jelas.

Baca juga: Kinerja Manufaktur Makin Mendekati Zona Kontraksi. Jumlah Pekerja Dikurangi

Kendati PMI membaik, manufaktur Indonesia masih menghadapi sejumlah tekanan. Mulai dari turunnya permintaan ekspor, penurunan tenaga kerja, hingga naiknya harga input akibat konflik geopolitik dan pelemahan rupiah. Perusahaan banyak menggunakan stok barang jadi untuk memenuhi pesanan dan mengurangi aktivitas pembelian baru.

Usamah Bhatti, ekonom S&P Global Market Intelligence mengatakan, PMI Juli 2025 kembali menunjukkan indikator negatif pada kesehatan manufaktur Indonesia, berupa berlanjutnya penurunan output dan permintaan baru pada awal triwulan ketiga namun mereda sejak Juni.

“Produsen mencatat tekanan harga makin intensif sejak awal semester 2025. Inflasi biaya menjadi yang tertinggi dalam empat bulan di tengah peningkatan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar. Kenaikan biaya sebagian dibebankan kepada klien meski inflasi biaya pada tingkat sedang,” terangnya.

Febri sendiri menyebut Kemenperin tidak menggunakan hasil PMI manufaktur sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan.

“Kami menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum. Namun, dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin memakai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dengan sampel rata-rata 3.100 perusahaan. Sementara survei PMI S&P Global tidak lebih dari 500 industri. Dengan IKI, kita mengetahui kinerja setiap subsektor industri pengolahan non migas lebih rinci,” paparnya.

IKI dihimpun berdasarkan survei langsung kepada pelaku industri dari 23 subsektor manufaktur, mencakup aspek produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, hingga ekspektasi bisnis ke depan.
IKI dinilai lebih representatif untuk kepentingan kebijakan, karena didasarkan pada data primer dan dianalisis dalam konteks kebutuhan nasional, tidak semata-mata mengikuti indikator global seperti PMI.

Berita Terkait

Ekonomi

Program Magang Berbayar Dibuka Lagi November, Kali Ini Untuk 80 Ribu Sarjana/Diploma

Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sudah meresmikan peluncuran...

Senin Besok Penyaluran BLT Rp900.000/KK untuk 35 Juta KK Dimulai

Untuk mendongkrak daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,...

Menko Airlangga: Bisa Jaga Pertumbuhan 5 Persen Per Tahun, Indonesia Jadi Negara Bright Spot

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut satu tahun...

Berita Terkini