Senin, Oktober 20, 2025
HomeNewsEkonomiManufaktur Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Bila Didukung Kebijakan Ini

Manufaktur Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Bila Didukung Kebijakan Ini

Sebagian ekonom mempertanyakan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan industri manufaktur tumbuh 5,60 persen pada triwulan dua 2025, sehingga menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi triwulan dua sebesar 5,12 persen.

Triwulan sebelumnya pertumbuhan manufaktur hanya 4,55 persen. Bahkan, pada triwulan II-2024 lebih rendah lagi, hanya 3,95 persen. Manufaktur adalah penyumbang nomor satu pertumbuhan ekonomi, dengan share hampir 20 persen, diikuti Pertanian dan Perdagangan.

Sebagian ekonom mempertanyakan lompatan pertumbuhan manufaktur itu, karena tidak sejalan dengan hasil survei Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia versi S&P Global, yang menunjukkan sejak April 2025 kinerja manufaktur Indonesia merosot ke zona kontraksi (minus) dengan indeks di bawah 50 persen.

Menurut Kemenperin, kinerja gemilang sektor industri pada triwulan II-2025 sudah sesuai dengan sejumlah data dan indikator yang valid seperti laporan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kemenperin, dan Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI BI), serta capaian investasi dan ekspor sektor industri.

“Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri manufaktur yang dirilis BPS sudah akurat. Tervalidasi dari IKI Kemenperin dan PMI BI yang menyatakan, industri manufaktur selama kuarta II 2025 selalu di atas level 50 (fase ekspansif). Belanja modal sektor manufaktur juga naik,” kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief melalui keterangan resmi pekan lalu.

Baca juga: Survei S&P Global: PMI Manufaktur Indonesia Membaik, Mendekati Zona Ekspansi

Ia menjelaskan, pada triwulan dua industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi 16,92 persen terhadap PDB nasional, naik dari 16,72 persen pada triwulan dua 2024.

“Capaian positif itu juga sejalan dengan IKI Juli 2025 sebesar 52,89, naik 1,05 poin dibandingkan Juni sebesar 51,84, dan lebih tinggi 0,49 poin dibanding periode yang sama tahun lalu,” ujar Febri.

Ia menambahkan, gairah manufaktur tidak hanya tercermin dari angka statistik, tapi juga dari aktivitas nyata di lapangan. Selama semester I 2025, sebanyak 1.641 perusahaan telah melaporkan pembangunan fasilitas produksi baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dengan nilai investasi Rp803,2 triliun.

“Dampak langsung dari ekspansi industri itu adalah penyerapan tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 303.000 orang. Angka ini jauh lebih besar dibandingn jumlah PHK yang disampaikan kementerian lain dan asosiasi pengusaha,” jelas Febri.

Febri menyatakan, dengan kebijakan yang kurang mendukung saja, manufaktur bisa tumbuh 5,60 persen. Apalagi kalau kebijakan pro industri diberlakukan, tentu pertumbuhan manufaktur akan melesat lebih tinggi.

Yaitu, antara lain pengendalian impor produk jadi, pengalihan pelabuhan masuk bagi produk jadi impor ke pelabuhan di Indonesia Timur, kemudahan pasokan bahan baku terutama bahan baku gas untuk industri tertentu, dan pengurangan kuota produk industri Kawasan Berikat masuk ke pasar domestik.

Febri menegaskan, Kemenperin tidak pernah menggunakan hasil PMI Manufaktur dari S&P Global sebagai dasar analisis atau perumusan kebijakan.

“Kami menghargai hasil survei PMI S&P sebagai referensi umum. Namun, dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan IKI dan PMI BI,” katanya.

Baca juga: Kinerja Manufaktur Meningkat, Pelaku Industri Naikkan Produksi Meski Masih Hati-Hati

Jumlah industri yang menjadi sampel rata-rata survei IKI mencapai 3.100 setiap bulan, sementara survei PMI S&P Global tidak lebih dari 500 perusahaan per survei.

“Jadi, kinerja manufaktur kita lebih akurat dengan IKI dan PMI BI dibanding indikator kinerja manufaktur lainnya. Selain itu, dengan IKI bisa diketahui kinerja masing-masing subsektor industri pengolahan non migas. IKI diolah pakar statistik IPB dan divalidasi ekonom UI,” papar Febri.

IKI dihimpun berdasarkan survei langsung kepada pelaku industri dari 23 subsektor manufaktur, mencakup aspek produksi, permintaan ekspor dan domestik, utilisasi kapasitas, tenaga kerja, hingga ekspektasi bisnis ke depan.

IKI lebih representatif untuk perumusan kebijakan, karena didasarkan pada data primer dan dianalisis dalam konteks kebutuhan nasional, tidak semata-mata mengikuti indikator global seperti PMI.

“Kami juga melengkapi dengan data IKI ekspor dan domestik, serta analisis mendalam terhadap tren dan tantangan aktual di lapangan,” pungkas Febri.

Berita Terkait

Ekonomi

Program Magang Berbayar Dibuka Lagi November, Kali Ini Untuk 80 Ribu Sarjana/Diploma

Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sudah meresmikan peluncuran...

Senin Besok Penyaluran BLT Rp900.000/KK untuk 35 Juta KK Dimulai

Untuk mendongkrak daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,...

Menko Airlangga: Bisa Jaga Pertumbuhan 5 Persen Per Tahun, Indonesia Jadi Negara Bright Spot

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut satu tahun...

Berita Terkini