Bunga Masih Tinggi, Penyaluran Kredit Terus Melandai

Kendati bunga acuan BI Rate sudah 4 kali (100 bps atau 1 persen) menurunkan bunga acuan BI Rate selama tahun ini, terakhir pada 20 Agustus 2025 menjadi 5 persen, bunga kredit perbankan masih tetap tinggi dan bank masih malas menyalurkan kredit.
Mengutip hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 19-20 Agustus 2025, yang dipublikasikan Rabu (20/8/2025), penurunan bunga kredit perbankan masih berjalan lambat. Pada Juli 2025 tercatat rata-rata 9,16 persen, masih relatif sama dengan bulan sebelumnya.
“Bank Indonesia memandang bunga kredit perbankan perlu terus diturunkan, sehingga dapat mendorong peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” tulis RDG BI.
Bunga kredit masih tinggi, penyalurkan kredit perbankan pun terus melandai. Pada Juli 2025 hanya tumbuh 7,03 persen secara tahunan (yoy), dibanding Juni 2025 sebesar 7,77 persen (yoy), Mei 2025 sebesar 8,43 persen (yoy), dan awal tahun ini yang masih dua digit (di atas 10 persen).
Pertumbuhan kredit itu jauh di bawah target BI tahun ini di kisaran 11-13 persen, yang kemudian dikoreksi menjadi 8-11 persen menyusul melemahnya ekonomi global dan domestik, akibat tensi geopolitik di berbagai kawasan dunia dan perang tarif perdagangan yang dikobarkan Amerika Serikat (AS).
Baca juga: BI Rate Makin Rendah, Tapi Bunga Kredit Tetap Tinggi dan Bank Malas Salurkan Kredit
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, terus melambatnya pertumbuhan kredit perbankan itu dipengaruhi oleh perilaku bank yang cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit, kendati likuiditasnya sudah sangat baik karena adanya pelonggaran dan insentif likuiditas KLM.
Tercermin dari penghimpunan simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) yang meningkat menjadi 6,96 persen (yoy) pada Juni 2025 dan 7 persen pada Juli 2025, dibanding 3,9 persen (yoy) pada Mei 2025.
Perilaku hati-hati itu, jelas Perry, antara lain tecermin pada standar penyaluran kredit (lending standard) yang meningkat. “Perbankan lebih memilih menempatkan kelebihan likuiditasnya pada surat-surat berharga (ketimbang disalurkan dalam bentuk kredit),” ujar dia.
Pertumbuhan kredit 7,03 persen pada Juli 2025 itu, lebih banyak ditopang sektor-sektor berorientasi ekspor, khususnya pertambangan dan perkebunan, serta sektor transportasi, industri, dan jasa sosial.
Secara keseluruhan, BI menyatakan, perlambatan kredit mencerminkan permintaan dari pelaku usaha yang belum kuat, dan cenderung mengutamakan pembiayaan internal untuk usahanya dalam situasi ketidakpastian seperti saat ini.
Berdasarkan penggunaan, pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja belum kuat, masing-masing hanya tumbuh 8,11 persen (yoy) dan 3,08 persen (yoy), dibanding 8,49 persen dan 4,45 persen pada Juni 2025.
Sedangkan kredit investasi masih tumbuh tinggi 12,42 persen (yoy), namun juga menurun dibanding Juni 2025 sebesar 12,53 persen. Sementara pembiayaan syariah tumbuh 8,31 persen (yoy), dan kredit UMKM 1,82 persen (yoy), dibanding Juni 2025 sebesar 8,37 persen (yoy) dan 2,18 persen (yoy).
BI sendiri terus memperkuat implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan.
Hingga minggu pertama Agustus 2025, total insentif KLM mencapai Rp384 triliun. Disalurkan kepada kelompok bank BUMN Rp171,5 triliun, bank swasta (BUSN) Rp169,2 triliun, BPD Rp37,2 triliun, dan KCBA (bank asing) Rp5,7 triliun.
Insentif KLM disalurkan ke sektor-sektor prioritas: pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta UMKM, ultra mikro, dan kredit hijau.