Masalah ekonomi Indonesia menurut banyak ekonom adalah daya beli yang terus melemah dan sektor riil yang melempem.

Tergambar dari pertumbuhan konsumsi masyarakat yang terus menurun, dari selalu di atas 5 persen (misalnya tahun 2018 sebesar 5,05 persen dan tahun 2019 sebesar 5,04 persen) menjadi di bawah 5 persen.

Setelah terkontraksi -2,63 persen pada 2020 karena pandemi Covid-19, memang konsumsi rumah tangga secara bertahap kembali tumbuh lebih tinggi, namun tidak pernah lagi mencapai 5 persen atau lebih.

Pada triwulan dua 2025, pertumbuhan konsumsi yang menyumbang lebih dari 54 persen terhadap pertumbuhan ekonomi itu, sempat meningkat menjadi 4,97 persen dari 4,89 persen pada triwulan satu. Tapi, belum terang apa akan berlanjut menjadi 5 persen atau lebih.

Terus melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu menunjukkan berlanjutnya pelemahan daya beli masyarakat pasca Covid. Terutama daya beli kaum menengah dan menengah bawah.

Banyak dari kelompok menengah yang turun kelas menjadi pekerja informal dengan penghasilan rendah, karena tergusur dari sektor formal pasca Covid.

Situasinya diperburuk oleh tidak adanya bantuan pemerintah terhadap kaum menengah, ditambah kenaikan biaya hidup dan pajak, yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah atau pendapatan.

Daya beli melemah, sektor riil pun melempem. Tercermin dari penyaluran kredit yang terus menurun. Kalau tahun 2022 tercatat 11,35 persen, tahun 2023 merosot menjadi 10,38 persen, tahun 2024 sebesar 10,39 persen, tahun ini kemungkinan besar di bawah 10 persen.

Penurunan BI Rate 125 bps sejak September 2024 hingga Agustus 2025 sehingga kini menjadi 5 persen, tidak mendorong penurunan bunga dan pertumbuhan kredit.

Penyaluran kredit terus melandai. Pada Januari 2025 penyaluran kredit turun menjadi 9,6 persen dan terus merosot pada bulan-bulan selanjutnya. Per Juli 2025, pertumbuhan kredit tinggal 7,03 persen dibanding 7,77 persen pada Juni dan 8,43 persen pada Mei.

Baca juga: Dorong Peningkatan Likuiditas dan Penurunan Bunga, BI Terus Kurangi Lelang SRBI

Likuiditas melonggar
Kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan BI Rate sejak pertengahan 2024 hingga menjadi 6,25 persen, memang membuat likuiditas sempat mengetat yang membuat perbankan kesulitan menyalurkan kredit.

Apalagi, perbankan juga bersaing memperebutkan dana masyarakat dengan Surat Berharga Negara (SBN) yang bunganya lebih tinggi.

Namun, setelah BI mulai menurunkan lagi BI Rate sejak September 2025, likuiditas perbankan mulai berangsur-angsur mengendur.

Dalam beberapa bulan terakhir penghimpunan dana masyarakat oleh perbankan bahkan tumbuh tinggi. Pada Juni 2025 tumbuh 6,96 persen (yoy) dan Agustus 7 persen dibanding 3,9 persen (yoy) pada Mei 2025.

Untuk makin membanjiri likuiditas di pasar, BI juga makin banyak membeli Surat Berharga Negara (SBN) dan mengurangi lelang SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), ditambah dengan meningkatkan insentif likuiditas KLM (Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial).

Bunga SRBI dan imbal hasil (yield) SBN juga terus menurun. Bunga SRBI tenor 6, 9, dan 12 bulan misalnya, turun dari 5,85 persen, 5,86 persen dan 5,87 persen (Juli 2025) menjadi 5,28 persen, 5,32 persen, dan 5,34 persen (15 Agustus 2025).

Begitu juga yield SBN tenor 2 tahun dan 10 tahun, menurun dari 5,86 persen dan 6,56 persen, menjadi 5,54 persen dan 6,40 persen.

Baca juga: Bunga Masih Tinggi, Penyaluran Kredit Terus Melandai

Kendati demikian, seperti disebut tadi, hal itu tidak mendorong penurunan bunga kredit perbankan dan peningkatan penyaluran kredit. Pada Juli 2025 bunga kredit tercatat rata-rata 9,16 persen, relatif sama dengan bulan sebelumnya.

Bahkan, karena ekonomi yang melempem, bank menjadi lebih ketat menyalurkan kredit menimbang risiko kenaikan kredit bermasalah (NPL).

Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, perbankan cenderung berhati-hati menyalurkan kredit, kendati likuiditasnya sudah sangat baik karena adanya pelonggaran dan insentif likuiditas KLM.

Perilaku hati-hati itu antara lain tecermin pada standar penyaluran kredit (lending standard) yang meningkat. “Perbankan lebih memilih menempatkan kelebihan likuiditasnya di surat-surat berharga (ketimbang disalurkan dalam bentuk kredit),” ujarnya baru-baru ini.

Permintaan lemah
Secara keseluruhan, Perry menyatakan, perlambatan kredit mencerminkan permintaan dari pelaku usaha yang belum kuat. Pelaku usaha cenderung mengutamakan pembiayaan internal dalam situasi ketidakpastian seperti saat ini.

Tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja yang belum kuat. Masing-masing hanya tumbuh 8,11 persen (yoy) dan 3,08 persen (yoy) pada Juli 2025, dibanding 8,49 persen dan 4,45 persen pada Juni 2025.

Sedangkan kredit investasi masih tumbuh tinggi 12,42 persen (yoy), namun juga menurun dibanding Juni 2025 sebesar 12,53 persen. Sementara pembiayaan syariah tumbuh 8,31 persen (yoy), dan kredit UMKM 1,82 persen (yoy), dibanding Juni 2025 sebesar 8,37 persen (yoy) dan 2,18 persen (yoy).

Baca juga: Simpanan di Bank Tumbuh Tinggi, Tapi Penyaluran Kredit Terus Menurun. Paling Merosot Kredit Investasi dan Konstruksi

Jangan heran insentif likuiditas yang disediakan BI melalui KLM, juga tidak banyak dimanfaatkan perbankan.

Hingga minggu kedua Januari 2025 misalnya, BI menyalurkan insentif KLM sebesar Rp295 triliun, meningkat Rp36 triliun dibanding Rp259 triliun per akhir Oktober 2024.

Namun, hingga minggu pertama Agustus 2025 total insentif KLM hanya mencapai Rp384 triliun, atau hanya bertambah Rp89 triliun dalam 8 bulan.

Insentif KLM disalurkan ke sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan menciptakan banyak lapangan kerja.

Yaitu, pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta UMKM, ultra mikro, dan kredit hijau.

Tanpa basis perhitungan
Karena itu mengherankan saat Menteri Keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa mengguyur pasar dengan likuiditas Rp200 triliun minggu kedua September.

Dana itu diambil dari kas pemerintah berupa Sisa Anggaran Lebih (SAL) di BI untuk ditempatkan di bank-bank BUMN, guna disalurkan ke sektor riil yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurut ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, perekonomian Indonesia saat ini tidak sedang mengalami kesulitan likuiditas. Perbankan bahkan saat ini justru kelebihan likuiditas.

Persoalan utama perekonomian saat ini adalah lemahnya permintaan. Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat permintaan melalui berbagai stimulus yang meningkatkan konsumsi masyarakat, serta memperbaiki iklim usaha dan investasi.

“Jika demand sudah menggeliat, dan sektor riil lebih bersemangat, barulah likuiditas bisa ditambah,” katanya seperti dikutip Kontan.id, Minggu (14/9/2025).

Wijayanto menyebutkan, saat ini dunia usaha masih menahan ekspansi akibat kondisi ekonomi yang belum kondusif, sehingga permintaan kredit tetap rendah. Walhasil, guyuran dana jumbo itu berisiko tidak terserap.

Bahkan, untuk kredit yang sudah disalurkan pun, sebagian belum dimanfaatkan. Terlihat dari kredit menganggur di perbankan yang terus menanjak. Per Juni 2025 menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencapai Rp2.304 triliun dibanding Juni 2024 senilai Rp2.152 triliun.

“Sangat mungkin bank menggunakan dana (Rp200 triliun) itu untuk refinancing kredit berjalan. Lalu, hasil refinancing dialihkan ke (surat utang seperti) SRBI atau SBN. Jadi, penyaluran kredit tidak akan meningkat (karena guyuran likuiditas itu),” jelasnya.

Apalagi dana SAL itu tidak gratis, bahkan terbilang mahal, karena berupa deposito on call dengan bunga 80,476 persen dari BI rate atau 4,02 persen, sehingga berpotensi menjadi beban perbankan.

Bandingkan dengan giro on call yang berbunga nol persen, atau deposito berjangka yang saat ini hanya 2,5–3,5 persen. “Alih-alih mendorong kredit, likuiditas Rp200 triliun itu justru bisa menekan profitabilitas bank,” ujar Wijayanto yang tergabung dalam Aliansi Ekonom Indonesia itu.

Ia menambahkan, dana Rp200 triliun itu juga diguyurkan ke 6 bank BUMN tanpa basis perhitungan yang jelas. Harusnya pemerintah mengkalkulasi dulu kebutuhan riil, mekanisme distribusi, serta skema pengawasannya, agar likuiditas itu benar-benar berdampak pada perekonomian.

Apalagi, dana tersebut dicaplok dari SAL yang selama ini digunakan untuk menopang belanja APBN pada awal tahun, saat penerimaan pajak belum masuk.

“Jika SAL (pemerintah di BI) tinggal Rp250 triliun (karena sudah diambil Rp200 triliun, itu sesungguhnya sangat berisiko. Potensi shortfall penerimaan pada 2025 dan 2026 bisa meningkat,” terang Wijayanto.

Shortfall penerimaan adalah kondisi ketika realisasi pendapatan negara lebih rendah dibanding target yang telah ditetapkan dalam APBN. Untuk menutupnya pemerintah menggunakan SAL. Kalau SAL tinggal sedikit, tentu saja hal itu berisiko bagi perekonomian. Defisit anggaran membengkak.

Memicu inflasi
Sebelumnya pendapat serupa sudah disampaikan ekonom LPEM UI Teuku Riefky, yang menyatakan lesunya kredit perbankan bukan karena kurangnya likuiditas, tapi karena lemahnya permintaan dari sektor riil.

Karena itu solusi menambah injeksi likuiditas kurang tepat dilakukan, karena jika tidak ada permintaan, hal itu justru akan menciptakan inflasi.

Baca juga: Kredit Lesu, Penyaluran Insentif Likuiditas BI Stagnan

Selain itu solusi tersebut juga akan memengaruhi independensi BI, dan memicu dampak yang lebih luas. Tidak hanya inflasi tapi juga sovereign risk yang berujung pada menyempitnya ruang fiskal.

Rifky berpendapat, solusi menggairahkan ekonomi tidak berada di Kementerian Keuangan, karena Kemenkeu hanya menavigasi belanja atau alokasi belanja pemerintah.

Solusinya terletak pada perbaikan kinerja di kementerian-kementerian yang menyangkut sektor riil. Yaitu, Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi, dan Kementerian Perdagangan.

Ketiga kementerian itu dinilai Rifky belum bisa menciptakan pertumbuhan sektor riil yang bagus, investasi yang memadai, penciptaan lapangan kerja, sehingga daya beli lemah, dan aktivitas ekonomi melempem.

“Tugas Kementerian Keuangan itu terbatas di insentif dan stimulus. Tanpa perbaikan iklim usaha, iklim investasi, stimulus (seperti likuiditas) itu nggak akan ada yang ambil,” tuturnya seperti dikutip Bisnis.com.