Opini Spin-Off UUS BTN: Jangan Lupa Mandat Perumahan Rakyat

Oleh Muhammad Joni
Praktisi Hukum Perumahan, Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera)
Sekjen PP Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU)
Tulisan adalah pendapat pribadi
Di sebuah ruang rapat yang dingin, awal November nanti, manajemen Bank Tabungan Negara (Bank BTN) akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Agenda utamanya jelas: restu strategis untuk melepas Unit Usaha Syariah (UUS) BTN menjadi entitas baru: Bank Syariah Negeri (Bank BSN).
Di atas kertas, ini tampak seperti sebuah prestasi korporasi. Namun di balik agenda resmi itu, terselip pertaruhan besar: nasib jutaan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang selama ini bergantung pada Bank BTN khususnya melalui pembiayaan syariah.
Seperti kisah hukum yang ditulis “mazhab” Grishamian, ruang rapat itu tak sekadar menyimpan angka-angka. Itu menyimpan mimpi, janji, dan potensi tragedi jika langkah ditempuh dengan tergesa.
BTN adalah bank rumah penuh sejarah, saksi kunci program KPR Sejahtera FLPP, rumah susun sederhana, hingga inovasi akad murabahah dan ijarah untuk rakyat kecil. UUS BTN bukan sekadar unit bisnis, ia adalah denyut nadi pembiayaan perumahan syariah untuk MBR.
Baca juga: Setelah Rp200 Triliun: Dari Brankas Bank ke Pintu Rumah Rakyat?
Sejak berdiri, UUS BTN mencatatkan portofolio yang solid. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, UUS BTN konsisten menjadi pemain besar dalam pembiayaan perumahan berbasis syariah dengan porsi signifikan pada segmen subsidi.
Dalam bahasa puitis ala Andrea Hirata, “ia ibarat perahu kayu sederhana yang berlayar di tengah samudra industri perbankan tetapi berani menembus ombak karena membawa penumpang bernama rakyat”.
Ironis jika dalam euforia spin-off, kita melupakan prestasi itu. Karena spin-off bukan sekadar memindahkan aset, pegawai, dan izin usaha. Ia adalah operasi besar yang bisa menggeser fokus bisnis.
Jika nanti Bank BSN lahir tanpa ruh Bank BTN-yakni orientasi kuat pada pembiayaan MBR-maka ia berpotensi menjadi bank syariah pemalas: gemuk di struktur, boros di biaya, tapi miskin di misi.
Risiko Cost of Fund: Tinggi?
Mari bicara jujur. Salah satu tantangan besar bank syariah adalah cost of fund (CoF). Bank syariah cenderung memiliki biaya dana lebih tinggi dibanding bank konvensional terutama karena instrumen penggalangan dana syariah yang terbatas. Bank BTN dengan reputasi lama dan mendalam di pembiayaan perumahan masih bisa menjaga CoF relatif kompetitif.
Namun apakah Bank BSN kelak mampu menjaga itu? Jika CoF entitas Bank BSN membengkak maka dua hal akan terjadi: margin pembiayaan naik dan MBR terbebani cicilan lebih tinggi. Akad syariah yang seharusnya membawa keadilan justru bisa berubah menjadi jerat biaya.
Bayangkan, seorang buruh pabrik di Bekasi yang memimpikan rumah tipe 36/72 melalui akad murabahah, tiba-tiba harus membayar cicilan lebih mahal hanya karena spin-off menaikkan ongkos dana.
Dalam hukum pasar, biaya tinggi selalu diturunkan ke konsumen. Dalam hukum nurani, itu adalah pengkhianatan terhadap misi Bank BTN sejak awal berdiri: memihak rakyat kecil.
Jangan Bank BSN Jadi Bank “Elitis”
UUS BTN punya pengalaman panjang: dari menyalurkan FLPP syariah, skema BP2BT, hingga akad KPR untuk rusunami. Semua itu bagian dari rekam jejak pro-MBR. Jika spin-off ini hanya menghasilkan bank syariah besar yang mengejar segmen menengah-atas, maka kita sedang membiarkan sebuah ironi lain lahir: bank syariah yang abai pada rakyat miskin.
Apalah artinya label “Nasional” dalam nama baru BSN, jika strategi bisnisnya justru menyingkirkan rakyat dari prioritas nasional? Kita tentu tak ingin Bank BSN menjadi bank “elitis” yang asyik bermain di portofolio korporasi, pembiayaan jumbo, dan meninggalkan rumah sederhana tipe 36 yang selama ini jadi simbol perjuangan MBR.
Spin-off bukan hanya soal regulasi, ia juga soal gaya bisnis. Bank BTN harus memastikan bahwa gaya bisnis Bank BSN kelak tetap ramping, efisien, dan hemat biaya. Karena gaya boros akan langsung tercermin pada harga produk: cicilan rumah.
Pengalaman beberapa bank syariah pasca spin-off mengajarkan kita bahwa risiko “overhead” sangat nyata. Struktur organisasi melebar, biaya promosi membengkak, dan ambisi ekspansi justru menguras modal.
Padahal, dalam perspektif fiqh muamalah, mubazir adalah pintu kezaliman. Bank BSN hanya sah menjadi entitas baru jika ia menutup pintu mubazir dan membuka pintu maslahat. Jangan lupa mandat Bank BTN adalah perumahan rakyat, pun begitu pula turunannya: Bank BSN.
Bank BTN tidak lahir untuk mengejar rating internasional. Ia lahir dari mandat sejarah: menjadi bank tabungan perumahan rakyat. Maka spin-off UUS BTN ke Bank BSN harus tetap dalam orbit mandat itu. Jika keluar orbit, sejarah akan mencatat: inilah saat Bank BTN mengkhianati mandat sosialnya.
Di sinilah regulator, pemegang saham, dan publik harus bersuara. Jangan biarkan RUPSLB awal November 2025 hanya jadi ritual teknokratis. Jadikan ia forum peringatan, bahwa setiap lembar keputusan di ruang rapat itu akan menentukan: apakah rakyat kecil tetap bisa bermimpi memiliki rumah atau harus kembali menumpuk di rumah kontrakan, di pinggir kota, dengan mimpi yang kian menjauh.
Baca juga: Opini: Perlu Jakarta Landbank Bukan Hanya Bank Jakarta
Epilog-Hope
Spin-off tidak harus berarti kehilangan misi. Bank BSN bisa lahir sebagai bank syariah yang modern, efisien, dan kompetitif tetapi tetap memegang erat DNA Bank BTN yaitu perumahan untuk rakyat kecil. Syaratnya jelas:
1. Fokus: Bank BSN wajib menjadikan pembiayaan MBR sebagai core business, bukan sekadar portofolio tambahan.
2. Efisiensi: struktur biaya harus ramping, CoF dijaga rendah agar cicilan rumah tetap terjangkau.
3. Inovasi Syariah: akad-akad kreatif harus diprioritaskan untuk rumah subsidi, bukan hanya apartemen elit.
4. Akuntabilitas Sosial: Bank BSN harus diaudit bukan hanya dari sisi keuangan tapi juga dari sisi kontribusi sosial terhadap pemenuhan rumah rakyat.
Seperti dalam novel mazhab Grishamian, keputusan RUPSLB Bank BTN awal November nanti bisa menjadi “plot twist”: apakah ini awal dari kisah sukses bank syariah pro-rakyat atau awal dari tragedi sosial-ekonomi perumahan kita.
Di ujung pena ini, saya hanya ingin mengingatkan: jangan pernah biarkan mimpi rakyat kecil dikorbankan oleh jargon spin-off. Karena rumah bukan sekadar tembok dan atap. Rumah adalah harga diri. Dan harga diri itu tak boleh dijual, bahkan dalam rapat yang paling berwibawa sekalipun.