Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) makin babak belur pasca pemangkasan bunga acuan BI Rate selama dua bulan berturut-turut ke level 4,75 persen.

Bunga acuan yang kian rendah, kendati baik untuk mendorong penurunan bunga dan penyaluran kredit yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun dinilai negatif oleh investor karena akan mendorong penurunan imbal hasil (yield) surat utang Indonesia.

Selain itu sentimen negatif yang masih berlanjut terhadap menkeu yang baru Purbaya Yudhi Sadewa, juga turut berperan membuat kurs rupiah makin nyungsep.

Terutama dari kebijakannya yang melonggarkan kebijakan fiskal demi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menyuntkkan tambahan likuiditas ke pasar.

Sentimen negatif lain terhadap Purbaya, seperti dikutip detikcom dari seorang pengamat, menyangkut penolakannya terhadap program tax amnesty dengan alasan hanya kong kalingkong pengusaha. Sikap itu dianggap tidak pro pasar, karena selama ini pengusaha menyambut senang program tax amnesty.

Sentimen negatif pasar itu tercermin dari premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 25 September 2025 yang naik tajam menjadi 83,18 bps, dibanding 69,59 bps pekan lalu (19 September 2025).

Mengutip laporan Bank Indonewsia (BI), Jum’at (26/9/2025), pada akhir perdagangan Kamis, 25 September 2025, kurs tengah rupiah di pasar uang antar bank di Jakarta (Jisdor) ditutup pada level (bid) Rp16.735 per USD.

Melorot tajam 235 poin dibanding penutupan perdagangan Kamis pekan lalu yang tercatat di level (bid) Rp16.500 per USD.

Penurunan nilai tukar rupiah terjadi bersamaan dengan menguatnya indeks dolar AS atau DXY ke level 98,55, dan naiknya yiels surat utang pemerintah AS atau US Treasury (UST) Note 10 tahun ke level 4,170 persen.

Peningkatan yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun terbitan pemerintah Indonesia dari 6,27 persen pekan lalu menjadi 6,40 persen, tidak mampu menolong rupiah.

Pada awal perdagangan Jumat, 26 September 2025, rupiah dibuka makin turun ke level (bid) Rp Rp16.750 per USD, dan ditutup makin luruh ke level (bid) Rp16.775, atau merosot 197 poin dibanding akhir perdagangan Jum’at pekan lalu yang tercatat di level Rp16.578 per USD.

Kenaikan yield SBN 10 tahun dari 6,40 persen menjadi 6,43 persen, dan modal asing yang kembali mengalir masuk terutama di pasar saham, tetap tidak mampu menahan pelemahan rupiah.

Baca juga: Rupiah Melemah ke Titik Terendah Dalam 4 Bulan Terakhir​​​​​​​​​​​

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam keterangannya, Jum’at (26/9/2025), menyatakan akan menggunakan seluruh instrumen yang dimilikinya untuk mengurangi tekanan dolar AS terhadap rupiah.

“Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus melalui intervensi NDF,” katanya.

Perry yakin seluruh upaya yang dilakukan BI dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai dengan nilai fundamentalnya. BI juga mengajak seluruh pelaku pasar untuk bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat tercapai dengan baik.