Opini: Pasca Putusan MK, Mengoreksi Tapera, Hapuskan Beban Pekerja

Oleh Muhammad Joni
Advokat, Praktisi Perumahan, Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera), Sekjen PP IKA USU
Di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), dentuman palu hakim tak sekadar mengakhiri persidangan. Namun mengguncang tatanan hukum yang selama ini menempatkan rakyat sebagai obyek pungutan.
Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 bukan sekadar angka satu perkara, namun adalah garis tegas bahwa negara tidak boleh lagi memaksakan kewajiban Tapera yang memberatkan pekerja dan pekerja mandiri, walau atas nama wibawa Undang-undang (UU).
Seperti dalam novel hukum “mazhab” Grishamian, putusan MK a quo bagai drama hukum yang mempertemukan gerakan konstitusionalisme rakyat kecil menghadapi sistem negara yang dingin dan arogan namun berbiaya mahal.
UU Tapera 2016 yang sejak awal diharapkan menjadi solusi backlog 12,7 juta defisit rumah, justru melahirkan regulasi pro penguasa yang penuh potongan, yang maaf tanpa manfaat nyata signifikan setelah lebih 10 tahun rezim UU Tapera 2016.
UU Malah Jadi Beban
Selama lebih dari sepuluh tahun, Tapera gagal menjawab signifikan akar persoalan. Backlog perumahan terus menanjak, mencapai 12,7 juta unit sementara pertambahan kebutuhan rumah sekitar 800 ribu unit per tahun. Negara hanya sanggup mengintervensi sebagian kecil, lewat KPR FLPP sekitar 200-250 ribu unit per tahun.
Di atas ketimpangan ini, Tapera menuntut potongan 3 persen dari gaji: 2,5 persen pekerja, 0,5 persen pemberi kerja. Dengan asumsi gaji Rp3,5 juta maka potongannya Rp87.500 setiap bulannya. Bagi buruh pabrik, itu setara 10 kilogram beras yang menjadi sumber hidup sehari-hari.
Ironisnya, siaran pers resmi BP Tapera mengakui hingga kini belum ada tabungan wajib maupun sukarela yang benar-benar dihimpun. Artinya, beban ada, lembaga ada, tetapi manfaat tetap nihil. Seperti dalam drama bengkok kontrak fiktif ala Grishamian: wakil rakyat a.k.a parlemen menandatangani kewajiban yang hasilnya entah ke mana.
Putusan MK dalam Lansekap Yurisprudensi
Putusan MK soal Tapera bukanlah yang pertama kali menegur negara agar tidak gegabah dalam menetapkan pungutan. Dalam putusan-putusan sebelumnya, mahkamah menegaskan prinsip: setiap pungutan wajib harus punya dasar konstitusional, tujuan jelas, dan manfaat nyata.
Putusan MK No. 007/PUU-III/2005 (uji materil UU BPJS) menegaskan jaminan sosial adalah hak rakyat yang harus dikelola dengan prinsip keadilan, bukan sekadar pungutan.
Putusan MK No. 20/PUU-XVII/2019 menyatakan pungutan tanpa kejelasan manfaat dan mekanisme adalah inkonstitusional.
Putusan MK No. 70/PUU-IX/2011 menekankan, kewajiban iuran tidak boleh memberatkan kelompok rentan.
Dengan UU Tapera, pola yang sama muncul: rakyat dijadikan obyek pembayar iuran, manfaat samar, kelembagaan tidak representatif. Rakyat diminta berkeringat padahal kurang banyak berkeringat untuk dana APBN perumahan rakyat dibanding sektor ataupun berkaca ke negara lain.
Selalu ada faktor wow, MK akhirnya menyatakan, UU Tapera ini harus ditata ulang, tok, tok, tok. Dan diberi waktu dua tahun agar sesuai amanat keadilan sosial dan maka, rakyat kudu diajak rembukan secara layak: partisipasi bernama begitu istilah dan perintahnya.
Yurisprudensi MK ini menunjukkan garis merah: MK konsisten membela rakyat dari regulasi yang berwajah pungutan. Negara boleh memungut, tapi harus adil, transparan, dan berorientasi pelayanan, bukan sekadar memperbesar dana kelolaan.
Penulis novel humanis genre Melayu ala Andrea Hirata mungkin akan menulisnya begini: rakyat seperti nelayan yang dipaksa menambal perahu orang lain sementara perahu miliknya menjelang karam. Mereka menabung dalam Tapera tapi rumah yang dijanjikan harus sabar menunggu giliran panjang. Bahkan tak pernah berwujud karena kematian digilas waktu dan beringasnya antrian.
Mengapa? Karena belum ada peserta yang tersedia dari pekerja swasta untuk mencukupkan akumulasi dana cukup. Alhasil antrian tak kunjung sampai sampai mata pekerja meredup dan tertutup.
Bayangkan, buruh pabrik menunda susu anaknya demi bisa paguh bayar potongan Tapera. Pedagang kaki lima sebagai pekerja mandiri tanpa fasilitas negara mengencangkan ikat pinggang karena uang jerih payah dagangan terpangkas. Ojek daring menghela napas panjang saat saldo rekeningnya menyusut. Semua menanti rumah sederhana yang tetap jadi bayangan jauh.
Putusan MK hadir seperti senja yang memerah, yang mengingatkan negara bahwa fajar keadilan hanya mungkin bila regulasi lahir dari empati.
Alarm Moral bagi Negara
Putusan MK adalah alarm moral. Negara diingatkan: hukum tidak boleh menjadi seakan mesin pemerasan yang sah. Regulasi harus sensitif terhadap rakyat, aparatur harus melayani dengan empati, kelembagaan harus terbuka dan representatif.
Jika 50 juta pekerja formal dikenakan Tapera, terkumpul Rp60 triliun per tahun. Angka besar, tetapi tanpa kontrol publik, padahal itu bisa menjadi “danau dana” yang rawan disalahgunakan. Tapera tanpa wakil dari publik, pekerja, dan pemberi kerja. Tapi menjadi pembayar wajib iuran Tapera. Padahal Dana Tapera bukan dana APBN namun dana amanat. Karena dana Tapera dari pekerja dan pemberi kerja maka tidak elok-cum-tidak adil klaim BP Tapera seakan organ investasi pemerintah.
Juga, Tapera a.k.a BP Tapera yang berwenang dengan UU malah ongkang kaki dengan tugas profesionalnya, maka oh maka tidak adil dan tidak sahih menugaskan lagi dengan membiayai Manajer Investasi yang dibayar skala komersial. Lantas untuk apa aduhai BP Tapera?
BP Tapera kudu menjadi Manajer Investasi publik untuk pemupukan Dana Amanat itu bukan malah menyewa Manajer Investasi. Itu bisa jatuh kepada analogi atau malah tudingan “serakahnimics” kepada Dana Amanat yang dihimpun dari jerih payah dan keringat rakyat.
Karena itu, ke depan, Tapera hanya bisa eksis bila lahir kembali dengan desain baru total. Total pro rakyat agar bisa nguyu (tertawa) seperti acapkali diingatkan Presiden Prabowo Subianto. Opini ini menawarkan 5 hal:
Pertama: Representasi rakyat pekerja, pemberi kerja, dan publik harus masuk dalam pengambilan keputusan. Menjadi bagian dari organ Tapera, baik Komite Tapera maupun BP Tapera.
Kedua: Keterbukaan data, laporan dana harus dapat diakses publik secara nyata, bukan jargon akuntabilitas.
Ketiga: Orientasi manfaat utama dan manfaat tambahan, sadarlah setiap rupiah harus kembali ke rakyat dalam bentuk rumah, bukan sekadar angka investasi.
Keempat: efisiensi dana amanat menghapuskan Manajer Investasi (MI) yang dibayar komersial sementara Tapera nirlaba. BP Tapera kudu kerja keras dan cerdas jangan dikesankan struktur pemalas menjalankan dana amanat dengan menyewa MI. BP Tapera kudu jadi MI publik perumahan rakyat. UU Tapera 2016 harus diubah atau agar cepat: ayo diuji ke MK.
Kelima: me-review total dengan metode Regulation Impact Assessment pro rakyat agar bisa nguyu dan melibatkan rakyat dengan partisipasi bermakna yang otentik, bukan partisipasi semu apalagi palsu.
Majelis pembaca. Hukum yang baik dan berbudi bukanlah hukum yang hanya indah di atas kertas. Hukum yang baik adalah hukum yang tulus bergerak menghapuskan air mata rakyat di malam hari.
Saatnya hapuskan beban rakyat. Buat organ pelaksana yang ekstra rajin. Buang lemak ekosistem yang melemahkan gerak dan ubah jadi aliran energi untuk mandat konstitusional atas hak perumahan rakyat.