Minggu, Oktober 26, 2025
HomeNewsEkonomiBanjir Likuiditas, Tapi Pelaku Usaha Emoh Ambil Kredit, Pilih Pakai Dana Sendiri

Banjir Likuiditas, Tapi Pelaku Usaha Emoh Ambil Kredit, Pilih Pakai Dana Sendiri

Bank Indonesia (BI) dan pemerintah terus membanjiri pasar dengan likuiditas untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan. Tercermin dari likuiditas perekonomian atau jumlah uang beredar yang makin meningkat.

Pemerintah menambah likuiditas antara lain melalui penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) di BI ke rekening bank-bank BUMN senilai Rp200 triliun awal bulan ini.

Sedangkan BI melalui kebijakan moneter longgar. Salah satunya, seperti dikutip dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 21-22 Oktober 2025 yang dipublikasikan, Rabu (22/10/2025), dengan menurunkan posisi instrumen moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dari Rp916,97 triliun pada awal tahun, menjadi Rp707,05 triliun per 21 Oktober 2025.

Kemudian dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah senilai Rp268,36 triliun (hingga 21 Oktober 2025), termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan pemerintah sebesar Rp199,45 triliun.

Selain itu melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), hingga minggu pertama Oktober 2025, BI juga menyalurkan insentif KLM sebanyak Rp393 triliun.

Yaitu, kepada kelompok bank BUMN Rp173,6 triliun, bank swasta (BUSN) Rp174,4 triliun, bank pembangunan daerah (BPD) Rp39,1 triliun, dan bank asing (KCBA) Rp5,7 triliun.

Baca juga: Bunga Masih Tinggi, Penyaluran Kredit Stagnan, Kredit yang Belum Dicairkan Besar

Bank Indonesia juga terus menurunkan bunga acuan BI Rate selama setahun terakhir sebanyak 150 basis poins (bps), sehingga pada medio September menjadi 4,75 persen.

Namun, kebijakan pemerintah dan BI itu tidak membuat bunga dana atau simpanan masyarakat dan kredit melandai dan penyaluran kredit bergairah.

Bunga deposito 1 bulan misalnya, hanya turun 29 bps (0,29 persen) dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,52 persen pada September 2025.

Terutama dipengaruhi oleh pemberian special rate atau bunga khusus oleh perbankan, kepada deposan besar yang share simpanannya mencapai 26 persen dari total DPK (dana pihak ketiag) bank.

Penurunan bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat lagi. Hanya 15 bps (0,15 persen) dari 9,20 persen pada awal 2025 menjadi 9,05 persen pada September 2025.

Kebijakan moneter longgar dan penempatan dana SAL Pemerintah di perbankan mendorong kenaikan jumlah uang beredar.

Selain itu, penyaluran kredit melempem juga karena sikap pelaku usaha yang masih wait and see. Lebih memilih melakukan optimalisasi pembiayaan dari kas internal, alias emoh mengambil kredit karena bunga kredit yang masih relatif tinggi.

Baca juga: Gubernur BI: BI Rate Sudah Turun 1,5 Persen, Tapi Bunga Kredit Hanya 0,15 Persen

Tercermin dari fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 yang masih cukup besar, mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54 persen dari plafon kredit yang tersedia.

“Terutama pada segmen korporasi dengan kontribusi utama dari sektor perdagangan, industri, dan pertambangan, dengan jenis kredit modal kerja,” tulis hasil RDG BI itu.

BI sendiri menilai, minat penyaluran kredit oleh perbankan secara umum makin baik. Tercermin dari persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang lebih longgar, kecuali pada kredit konsumsi dan UMKM karena risiko kredit pada kedua segmen itu di tengah penurunan daya beli saat ini.

Karena itu, pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit konsumsi melambat pada September 2025, menjadi masing-masing 3,37 persen (yoy) dan 7,42 persen (yoy). Yang masih tumbuh tinggi hanya kredit investasi menjadi 15,18 persen (yoy).

Baca juga: Penyaluran Kredit Diperkirakan Baru Meningkat Pada Triwulan IV

Sementara kredit UMKM dan pembiayaan syariah tumbuh melambat menjadi masing-masing hanya 0,23 persen (yoy) dan 7,55 persen (yoy).

“Permintaan domestik perlu terus diperkuat, sehingga meningkatkan konsumsi rumah tangga dan investasi. Belanja pemerintah berkontribusi pada penguatan permintaan domestik tersebut,” tulis RDG BI.

Dengan kondisi moneter seperti dipaparkan di atas, Bank Indonesia sendiri memprakirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah sasaran di level 8-11 persen, dan baru akan meningkat lebih tinggi tahun depan.

Sebelumnya para ekonom sudah menyatakan, masalah ekonomi Indonesia bukan likuiditas, melainkan melempemnya sektor riil.

Karena itu yang lebih aktif mestinya kementerian yang mengurusi sektor riil, seperti Kemendag, Kemenperin, Kemenkop UKM, dan Kementerian Pariwisata. Kementerian Keuangan dan BI mendukung dengan insentif fiskal dan moneter.

Berita Terkait

Ekonomi

September-Oktober Modal Asing Cabut Rp87 Triliun dari Indonesia

Setelah pekan pertama Oktober 2025 mulai masuk lagi (beli...

Trump Suka-Suka Bikin Kebijakan, Rupiah Kian Melemah

Presiden AS Donald Trump dengan kebijakan suka-sukanya, masih menjadi...

Pertumbuhan Ekonomi Digital Jakarta Tercepat di Asia Tenggara

Posisi Jakarta kian kuat sebagai salah satu ekonomi digital...

September Jumlah Uang Beredar Kian Besar. Tanda Ekonomi Terus Membaik?

Uang beredar adalah indikator aktivitas ekonomi. Kenaikan atau penurunan...

Berita Terkini