November Inflasi Kembali Menurun. Pertanda Daya Beli Melemah Lagi?
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Senin (1/12/2025), inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November 2025 mencapai 2,72 persen secara tahunan (yoy) dan 0,17 persen secara bulanan (mtm). Menurun dibanding inflasi Oktober 2025 yang tercatat 2,86 persen (yoy) dan 0,28 persen (mtm).
Penurunan inflasi menunjukkan penurunan tekanan terhadap harga barang dan jasa, entah karena berkurangnya konsumsi masyarakat (daya beli) atau karena melimpahnya suplai barang, atau karena kombinasi keduanya.
Di satu sisi penurunan inflasi layak disambut karena mencerminkan terkendalinya harga-harga. Tapi, di sisi lain hal itu juga bisa berarti berkurangnya konsumsi atau daya beli yang berdampak terhadap ekonomi. Konsumsi masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal itu tercermin pada inflasi inti November 2025 yang merosot menjadi 0,17 persen (mtm), dari 0,39 persen (mtm) pada Oktober 2025. Terutama disumbang oleh komoditas emas perhiasan, karena meningkatnya harga emas global.
Sedangkan secara tahunan inflasi inti November 2025 tetap stabil di angka 2,36 persen (yoy), namun tetap masih lebih rendah dibanding April 2025 yang tercatat 2,50 persen (yoy).
Inflasi inti adalah inflasi atau peningkatan harga barang dan jasa tanpa memperhitungkan harga volatile food (bahan makanan bergejolak), dan administered price (harga barang/jasa yang diatur pemerintah) seperti BBM, listrik, rokok, dan tarif angkutan.
Karena itu inflasi inti menjadi indikator daya beli masyarakat dari konsumsi barang sekunder dan tersier alias non pangan. Kenaikan inflasi inti merupakan cermin peningkatan konsumsi atau daya beli, dan sebaliknya.
Menurut ekonom Muhammad Chatib Basri, ciri ekonomi yang mulai melambat adalah orang mulai mengurangi permintaan terhadap produk sekunder dan tersier. Konsumsinya makin didominasi oleh kebutuhan pangan.
Indikatornya adalah penurunan inflasi inti, yang menunjukkan daya beli masyarakat melemah karena harga pangan yang terus meningkat, atau karena pendapatan mereka tidak mengalami peningkatan, atau kombinasi keduanya.
Baca juga: Terus Menurunnya Inflasi Inti, Konfirmasi Melemahnya Daya Beli
Kelompok volatile food mengalami inflasi pada November 2025 sebesar 0,02 persen (mtm), relatif stabil dibanding Oktober 2025 sebesar 0,03 persen (mtm).
Inflasi volatile food disumbang terutama oleh kenaikan pesat harga bawang merah, seiring dengan pasokan yang terbatas akibat gangguan cuaca dan kenaikan harga bibit.
Secara tahunan, kelompok volatile food mengalami inflasi 5,48 persen (yoy), menurun dibanding Oktober 2025 sebesar 6,59 persen (yoy).
Kelompok administered prices juga mengalami inflasi pada November 2025 sebesar 0,24 persen (mtm), meningkat tinggi dibanding Oktober 2025 sebesar 0,10 persen (mtm).
Terutama disumbang oleh kenaikan tarif angkutan udara, seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan kenaikan harga avtur. Secara tahunan, kelompok administered prices juga mencatat inflasi 1,58 persen (yoy), lebih tinggi dibanding Oktober 2025 sebesar 1,45 persen (yoy).
Baca juga: Banjir Likuiditas, Inflasi Pun Meninggi, Oktober 2025 Tertinggi Dalam 5 Tahun Terakhir
Bank Indonesia (BI) dalam rilisnya pada hari yang sama, menyambut baik angka inflasi November 2025, karena tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%.
BI mengklaim, inflasi yang terjaga itu merupakan hasil dari konsistensi kebijakan moneter, serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara BI dan pemerintah, dan penguatan implementasi Program Ketahanan Pangan Nasional.
“Ke depan Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1% pada 2025 dan 2026,” tulis keterangan BI melalui Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso.