Produk pembiayaan memiliki fitur maupun karakteristik untuk menyesuaikan dengan kemampuan seseorang. Pembiayaan perumahan (KPR) misalnya, merupakan kredit yang disalurkan bank untuk menalangi pembelian rumah. Dengan KPR kemungkinan seseorang membeli rumah menjadi besar kendati tidak memiliki dana sebesar harga rumahnya.

Dalam praktiknya tentu ada bunga yang harus dibayar. Nah, penerapan bunga ini ada yang dengan sistem tetap atau fixed maupun yang mengikuti situasi pasar atau bunga floating.

Dikutip dari laman Bank OCBC NISP Jumat (26/12), bunga fixed adalah skema suku bunga yang besarannya tetap dan tidak berubah selama periode tertantu, misalnya 1-5 tahun pertama masa kredit atau cicilan per bulan.

Selama periode ini, cicilan per bulan selalu sama meskipun suku bunga acuan di pasar sedang naik atau turun. Stabilitas ini membuat pengaturan keuangan lebih mudah karena tidak ada kejutan dalam jumlah pembayaran.

Sementara itu, bunga floating KPR adalah skema suku bunga yang besarannya mengikuti perubahan kondisi pasar, terutama berdasarkan suku bunga acuan seperti BI Rate atau kebijakan suku bunga bank.

Artinya, cicilan per bulan bisa naik atau turun sesuai pergerakan bunga di periode tertentu. Jika suku bunga pasar turun, cicilan ikut turun dan jika suku bunga naik, cicilan pun ikut meningkat. Pertanyaannya, apa yang harus kita pilih?

Baca juga: Biar KPR Cepat Disetujui Bank, Simak Tips OCBC

Bunga fixed itu biasanya ditawarkan sebagai promo untuk produk KPR tertentu yang bisa didapat dalam beberapa tahun saja, seperti lima tahun pertama. Meski begitu, ada beberapa produk KPR yang memang menawarkan bunga fixed hingga lunas.

Maka untuk memilih antara kedua skema bunga ini sebaiknya disesuaikan dengan profil dan kondisi keuangan. Bila kita berkategori seseorang yang memiliki penghasilan tetap setiap bulan, cicilan tetap lebih bagus karena sifatnya yang stabil dan memudahkan pengaturan arus kas. Skema bunga fixed memberikan kepastian karena cicilan tidak berubah sepanjang periode bunga tetap.

Situasi ini sangat membantu untuk menjaga disiplin finansial terutama bila ada komitmen pembiayaan lain seperti biaya sekolah anak, cicilan kendaraan, atau kebutuhan rumah tangga yang sudah terjadwal.

Sementara itu bila penghasilan cenderung fluktuatif, skema suku bunga floating bisa lebih sesuai karena ada kesempatan mendapatkan cicilan yang lebih rendah saat pasar sedang turun. Dengan pendapatan yang fleksibel, risiko naik-turunnya bunga lebih mudah disesuaikan dibanding seseorang yang pendapatannya tetap.

Keuntungan bunga turun juga akan lebih “terasa” untuk mereka dengan pemasukan fleksibel karena kelebihan dana bisa dialihkan ke tabungan, investasi, atau untuk percepatan pelunasan KPR-nya.

Lebih tegasnya, bunga fixed sangat cocok untuk seseorang yang ingin memastikan cicilan stabil dalam beberapa tahun pertama. Masa awal KPR biasanya merupakan periode paling krusial karena ada banyak pengeluaran lain yang muncul bersamaan seperti renovasi rumah, pengadaan furnitur, atau lainnya.

Dengan cicilan yang pasti, rencana keuangan jangka pendek–menengah jadi lebih aman dan tidak perlu menyesuaikan diri dengan kondisi pasar. Setelah masa fixed berakhir, baru bisa dipertimbangkan untuk melanjutkan ke floating atau melakukan refinancing.

Sementara skema floating cocok untuk seseorang yang mampu menghadapi ketidakpastian karena cicilan berubah mengikuti kondisi pasar. Ada peluang besar untuk menghemat ketika suku bunga acuan sedang turun, tetapi ada juga risiko cicilan melonjak ketika pasar sedang ketat.

Baca juga: Gaji UMR Tapi tetap Bisa Beli Rumah? Simak Tipsnya

Satu hal lagi, seseorang yang memilih suku bunga floating harus siap dengan skenario terburuk, misalnya menyiapkan dana cadangan atau buffer keuangan agar kondisi rumah tangga tetap aman kalau cicilan naik.

Untuk produk KPR, OCBC memiliki produk KPR Easy Start yang menawarkan banyak keuntungan. Salah satu kelebihan produk ini bisa mulai dari angsuran yang rendah, cicilan bertahap setiap satu atau dua tahun, jangka waktu hingga 25 tahun, dan bisa digunakan untuk rumah baru maupun bekas dengan plafon minimal Rp100 juta hingga Rp5 miliar.