OGRA: Tantangan Merancang Atap yang Ramah Lingkungan

Atap adalah bagian terpenting dari sebuah bangunan. Fungsinya melindungi penghuni di dalamnya dan bangunan itu sendiri dari perubahan cuaca. Di masa lalu, atap bangunan seperti rumah dirancang untuk merespon kondisi alam. Di Indonesia yang beriklim tropis misalnya, umumnya atap rumah didesain berbentuk pelana dengan teritisan lebar. Antara teritisan dan dinding rumah dibiarkan sedikit terbuka sebagai sirkulasi udara. Jadi, atap efektif menepis tampias hujan dan mereduksi panas matahari. Didukung pembuatan lubang-lubang angin pada dinding sebagai sirkulasi udara tambahan (ventilasi silang), suhu mikro di dalam rumah pun makin rendah.
Penutup atapnya terbuat dari bahan-bahan alami seperti ijuk, rumbia, sirap, dan sejenisnya, yang ringan dan tidak merambatkan panas ke dalam bangunan. Penutup atap itu dirakit terlebih dulu sebelum dipasang, sehingga pemasangannya di rangka atap pun mudah. Karena itu rumah-rumah yang dirancang dan dibangun sendiri oleh orang kebanyakan (vernakular) itu nyaman ditinggali kendati cuaca di luar sedang terik, selain lebih tahan terhadap gempa. Namun, sejak munculnya AC, desain bangunan yang ramah lingkungan itu menghilang. Berganti dengan rancangan bangunan yang mengisolasi diri dari alam dan lebih mementingkan bentuk termasuk dalam desain atap dan pilihan penutup atapnya.
“Rumah-rumah vernakular sampai era kolonial desainnya selalu berupaya berdialog dengan iklim. Tapi sejak munculnya AC, dialog itu terputus,” kata Iwan Prijanto, Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI), dalam talkshow “Antusiasme Peserta Sayembara Onduline Green Roof Awards (OGRA) 2023 Asia dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Keselamatan Bumi” yang diadakan Onduline di sela-sela pameran bahan bangunan IndoBuildTech 2023 di ICE BSD City, Serpong, Tangerang (Banten), Kamis (6/7/2023).
OGRA 2023 mengambil tema “Tropical Passive Roof Design for Low Energy House”. Rancangan atap adalah bagian terpenting dari passive design itu, dan juga dinding berupa lubang-lubang angin untuk sirkulasi udara. Karena itu rancangan dan pilihan penutup atap akan menjadi bagian terpenting penilaian juri terhadap karya yang masuk. Kompetisi terbuka untuk semua arsitek, dengan penerimaan karya ditutup akhir Agustus 2023.
Selain Iwan, diskusi menghadirkan Direktur Onduline Asia Pasiifik Olivier Guilluy, Country Director Onduline Indonesia Esther Pane, dan Principal Architect Archimetric Ivan Priatman, dengan moderator Marketing Manager Onduline Indonesia Resa Siregar. Onduline adalah produsen atap dari bitumen dan serat selulosa yang disebut tidak mengandung asbes dan logam, sehingga ringan dan mudah dipasang, dan tidak merambatkan panas. Sekitar 55% bahan bakunya diklaim dari bahan daur ulang.
Dewasa ini rancangan atap yang berkelanjutan (sustainable) itu makin penting diangkat dan dimasyarakatkan, karena adanya pemanasan global yang bermuara pada perubahan cuaca. Hujan makin ekstrim, suhu kian menyengat saat musim kemarau, kekeringan di banyak wilayah, longsor dan banjir yang kian besar di wilayah lain. Cuaca kian sulit ditebak dengan berbagai dampaknya yang amat merugikan. Pemicu utama semua itu adalah emisi gas rumah kaca yang besar akibat penggunaan energi fosil yang berlebihan.
Karena itu penting sekali bagi semua pihak mengurangi penggunaan energi (energy efficiency). Antara lain melalui penciptaan desain bangunan yang merespon alam seperti dulu. Kenapa bangunan? Karena bangunan adalah penyumbang emisi terbesar, mencapai 39% dengan 11% berasal dari bahan bangunan dan 28% dari konstruksi bangunan. Sebagian besar bangunan itu berupa rumah tinggal yang dimiliki perorangan.
“Desain konstruksi bangunan dan pemilihan bahan bangunannya, antara lain penutup atap, bisa menjadi salah satu solusi menciptakan hunian yang nyaman dengan konsumsi energi minimal. OGRA adalah salah satu upaya mendorong hal itu. Menyambung kembali dialog (dengan iklim) yang terputus (selama sekian dekade terakhir),” jelas Iwan.
Ia mengakui, upaya itu tidak mudah karena sasaran edukasinya bukan hanya sisi supply (produsen), tapi juga demand (masyarakat luas pemilik bangunan). Bagaimana di era serba instan dan malas melalui proses ini, meyakinkan semua orang agar mau memilih atau merancang rumah yang lebih ramah lingkungan? Namun, kampanye harus terus dilakukan bila kita tetap ingin hidup nyaman di dunia ini.
OGRA yang merupakan kompetisi dua tahunan, tahun ini memasuki periode ke-6 dengan cakupan peserta diperluas ke tingkat Asia. Jadi, selain dari Indonesia, OGRA 2023 bisa diikuti juga oleh para arsitek dari Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan India.
Ivan Priatman menambahkan, kita butuh suhu 24-25 derajat dengan tingkat kelembabab 50% supaya bisa hidup nyaman di iklim tropis. Padahal, suhu di luar rumah mencapai 30% atau lebih dengan tingkat kelembaban hingga 80%. Bahkan, belakangan di sebagian wilayah Indonesia suhu tercatat antara 35%-37%.
Orang-orang terutama di perkotaan, mengatasi persoalan itu dengan cara instan: memasang AC di rumah. Padahal, penggunaan AC yang kian masif akan makin meningkatkan konsumsi energi dan kemudian juga emisi, yang berujung pada iklim yang kian menyengat. Sampai kapan hal itu dibiarkan berlangsung?
“Kita tidak bisa terus menerus mengisolasi diri dengan membuat iklim mikro yang nyaman di rumah masing-masing dengan AC. Ketergantungan pada AC akan makin meningkatkan konsumsi energi. Jadi, penting sekali menciptakan desain bangunan dan pilihan material yang bisa menurunkan suhu tanpa meningkatkan konsumsi energi. Salah satunya lewat rancangan atap. Atap menjadi bagian terpenting dari tropical passive design, juga dinding. Kita berharap bisa mendapatkan solusi desain yang cerdas dan inovatif dari para peserta OGRA,” katanya. Bersama Olivier, Iwan, dan arsitek Filipina Felino ‘Jun’ Palafox Jr, Ivan akan menjadi juri OGRA 2023.
Penyelenggaraan OGRA merupakan bagian dari upaya pemasaran Onduline yang produknya yang kini meluas ke atap sel surya dan lain-lain. Namun, langkah perusahaan asal Perancis itu tetap patut dihargai. Manajemen Onduline pasti faham, di tengah kian masifnya pragmatisme dan budaya instan, jalan mereka tidak mudah dan belum tentu memberikan hasil (penjualan) seperti yang diharapkan. Namun, mereka tetap konsisten menyelenggarakan kompetisi itu sejak 10 tahun lalu. Mari berharap produsen bahan bangunan lain juga menggelar sayembara semacam OGRA, guna makin memasyarakatkan desain bangunan yang ramah lingkungan.