Senin, Oktober 20, 2025
HomeNewsEkonomiDaya Beli Melemah, PMI Manufaktur Indonesia Kembali Merosot

Daya Beli Melemah, PMI Manufaktur Indonesia Kembali Merosot

Setelah mencatat rekor pada Februari 2025, S&P Global melaporkan, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Maret 2025 kembali merosot. Masih berada di zona ekspansi (indeks >50) sebesar 52,4, namun menurun 1,2 poin dari 53,6 pada Februari 2025.

Penurunan PMI Maret 2025 itu selaras dengan laporan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Maret 2025 sebesar 52,98, turun 0,17 poin dibandingkan Februari 2025.

PMI manufaktur Indonesia Februari 2025 itu merupakan yang tertinggi dalam 12 bulan terakhir, yang mencerminkan peningkatan optimisme pelaku industri terhadap prospek bisnisnya ke depan.

Sebelumnya selama lima bulan berturut-turut sejak Juli 2024, PMI manufaktur Indonesia terkontraksi (indeks <50). Pada November 2024 misalnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 49,6, sebelum kembali ke zona ekspansi dengan indeks 51,9 pada Desember 2024.

PMI adalah indikator ekonomi yang menunjukkan kondisi industri pengolahan. Indeks PMI didapat dari survei bulanan terhadap manajer pembelian (purchasing) di perusahaan manufaktur.

PMI ekspansi menunjukkan industri manufaktur bergairah karena permintaan meningkat, yang selanjutnya menaikkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja. Karena permintaan meningkat dan stok berkurang, perusahaan meningkatkan pembelian yang tercermin dari ekspansi PMI.

Menurut Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief melalui keterangan resmi pekan lalu, momentum perayaan keagamaan selalu menjadi titik lonjakan permintaan produk-produk manufaktur, yang diikuti dengan kenaikan PMI.

Namun kali ini lonjakan tersebut tidak terjadi, sehingga pada Maret 2025 PMI kembali merosot. Momentum Ramadan dan Lebaran 2025 hanya mampu menahan PMI agar tidak merosot lebih dalam. Jika tidak ada perayaan hari besar keagamaan pada Maret, PMI Indonesia bisa turun lebih dalam.

“Berdasarkan laporan perusahaan industri, diketahui penjualan produk manufaktur terutama produk makanan, minuman serta tekstil dan produk tekstil (TPT) menurun menjelang lebaran. Antara lain disebabkan pelemahan daya beli masyarakat,” katanya.

Baca juga: Meski Diwarnai Penutupan Sejumlah Pabrik, 11 Bulan Terakhir PMI Manufaktur Indonesia Catat Rekor

Febri menyatakan, PMI Maret harusnya meningkat lebih tinggi dibanding Februari, jika pelaku industri mampu mengoptimalkan demand selama Ramadan dan Lebaran, dan kementerian terkait bisa mengendalikan masuknya impor barang jadi murah ke Indonesia.

Ia menambahkan, kinerja industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada pasar domestik. Hampir 80 persen produk manufaktur itu dijual di pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, swasta dan rumah tangga.

Febri mengungkapkan, hampir semua negara ASEAN mengalami penurunan PMI pada Maret 2025. Bahkan, PMI beberapa negara masih di zona kontraksi. Namun, sebagian negara tersebut tidak memiliki perayaan hari besar keagamaan pada Maret sebagai pendorong lonjakan atau menahan penurunan PMI.

Menurut S&P Global, PMI Indonesia Maret 2025 mampu melampaui RRT (51,2), Vietnam (50,5), Thailand (49,9), Taiwan (49,8) Amerika Serikat (49,8) Myanmar (49,8), Belanda (49,6), Korea Selatan (49,1), Prancis (48,9), Jerman (48,3), Jepang (48,3), dan Inggris (44,6).

Berita Terkait

Ekonomi

Program Magang Berbayar Dibuka Lagi November, Kali Ini Untuk 80 Ribu Sarjana/Diploma

Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sudah meresmikan peluncuran...

Senin Besok Penyaluran BLT Rp900.000/KK untuk 35 Juta KK Dimulai

Untuk mendongkrak daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,...

Menko Airlangga: Bisa Jaga Pertumbuhan 5 Persen Per Tahun, Indonesia Jadi Negara Bright Spot

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut satu tahun...

Berita Terkini