Ketidakpastian Makin Tinggi, Tapi Ekonomi Indonesia Masih Cukup Aman

Perang Israel-Iran makin menambah runyam perekonomian dunia. Konflik tersebut kian meningkatkan ketegangan geopolitik dan ketidakpastian, serta menaikkan harga minyak dunia.
Sebelumnya ketidakpastian global sudah tinggi, karena belum tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok soal tarif perdagangan antar dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA 2025 di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
“Risiko pertama (konflik Israel-Iran) itu menciptakan ketidakpastian harga. Harga-harga cenderung naik, seperti harga minyak. Itu berarti inflasi naik, dikombinasikan dengan ketidakpastian (berjalan), menyebabkan ekonomi global melemah. Itu kombinasi situasi yang harus kita waspadai,” kata Menkeu.
Ketidakpastian situasi itu sendiri sudah menekan sektor infrastruktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Global Mei 2025 berada di level kontraksi dengan indeks 49,6 (<50), terendah sejak Desember 2024. Sebanyak 70,8 persen negara ASEAN dan G20 mengalami kontraksi PMI, termasuk Indonesia dengan PMI 47,4.
Kondisi geopolitik yang makin rentan itu telah berimplikasi terhadap kegiatan ekonomi, ekspor impor, manufaktur, dan juga arus modal yang berdampak ke seluruh dunia.
“Bagi Indonesia, ekonomi global yang melemah kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita. Harga komoditas ada yang pick up sangat tinggi, tapi bukan karena supply demand dalam artian biasa, lebih karena adanya disrupsi. Nilai tukar juga cenderung volatile dan bunga utang meningkat, terutama karena kebijakan fiskal di Amerika Serikat,” jelas Menkeu.
Dampak semua itu prospek pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia jadi lemah. IMF dan World Bank melakukan koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2025 menjadi 2,8 persen dan 2,3 persen. Sementara volume perdagangan proyeksi IMF hanya tumbuh 1,7 persen, turun signifikan dari tahun lalu sebesar 3,8 persen.
Di tengah kondisi ekonomi yang melemah dan pasar global yang tidak stabil, indikator ekonomi Indonesia masih terjaga.
Terlihat dari indeks kepercayaan konsumen sebesar 117,5, masih di zona optimis, penjualan sektor riil membaik tumbuh 2,6 persen, konsumsi listrik tumbuh 4,5 persen untuk bisnis dan 6,7 persen untuk industri manufaktur, serta penjualan semen tumbuh signifikan 29,98 persen.
Pemerintah, lanjut Mnekeu, berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tetap resilien yang pada triwulan I-2025 tumbuh 4,87 persen.
Inflasi juga terkendali di 1,6 persen secara tahunan, dengan kontribusi volatile food rendah yang berarti harga pangan terjaga baik, administered price 1,36 persen yang merupakan refleksi dari kebijakan pemerintah, dan inflasi inti 2,4 persen yang memperlihatkan masih ada demand dalam ekonomi.
Baca juga: Triwulan I Ekonomi Tumbuh di Bawah 5 Persen. Kata BPS Masih Bagus. Ini Alasannya
Menkeu menegaskan, masih terjaganya ekonomi Indonesia itu tidak lepas dari peran APBN yang terus dikelola secara hati-hati, tapi tetap ekspansif sebagai instrumen countercyclical, guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan memperkuat fondasi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Pendapatan negara hingga 31 Mei 2025 mencapai Rp995,3 triliun, dipengaruhi oleh ekonomi global, situasi geopolitik, dan perkembangan harga komoditas.
Sementara belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun yang mendukung pertumbuhan ekonomi melalui berbagai program prioritas.
Dengan demikian defisit APBN (Rp21 triliun) tetap terkendali di 0,09 persen Produk Domestik Bruto (PDB), dan surplus keseimbangan primer Rp192,1 triliun.
Cukup kuat menghadapi tekanan dan pelemahan ekonomi agar tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat.
“Di tengah tensi global yang memuncak, dan volatilitas pasar keuangan dan perekonomian global, Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal yang responsif dan adaptif, dengan kesehatan APBN tetap terjaga,” pungkas Menkeu.