Beras, Rokok, dan Rumah Masih Jadi Kontributor Utama Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan akhir pekan ini, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 8,47 persen, menurun dari 8,57 persen pada September 2024. Dengan demikian jumlah penduduk miskin berkurang 200 ribu menjadi 23,85 juta orang.
“Susenas mendata rumah tangga (untuk mendapatkan data tingkat kemiskinan tersebut), dengan sampel sekitar 345.000 rumah tangga pada Maret 2025”, kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers di kantor BPS di Jakarta.
Pada Maret 2025, rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota, pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.
Angka garis kemiskinan nasional itu meningkat 2,34 persen dibanding September 2024. “Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan”, ujar Ateng.
Garis kemiskinan yang dirilis BPS merupakan angka rata-rata nasional. Setiap daerah memiliki garis kemiskinan berbeda, dipengaruhi oleh harga dan pola konsumsi setempat.
Tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 11,03 persen, perkotaan 6,73 persen. Tingkat kemiskinan di perdesaan mengalami penurunan, di perkotaan mengalami kenaikan.
Baca juga: Begini Penjelasan BPS Soal Perbedaan Angka Kemiskinan Bank Dunia dengan BPS
Dibanding September 2024, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Maret 2025 meningkat di perkotaan dan menurun di perdesaan. Hal ini menunjukkan, rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan makin melebar di perkotaan, namun menyempit di perdesaan.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode yang sama juga mengalami peningkatan di perkotaan dan penurunan di pedesaan. Artinya, ketimpangan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin di perkotaan meningkat, sementara di perdesaan menurun.
Secara spasial, pada Maret 2025, terdapat 18 provinsi dengan tingkat kemiskinan di bawah angka kemiskinan nasional, sementara 20 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di atas angka nasional.
Tingkat kemiskinan tertinggi tercatat di Papua Pegunungan sebesar 30,03 persen, tingkat kemiskinan terendah terdapat di Bali sebesar 3,72 persen.
BPS juga untuk pertama kali merilis angka kemiskinan ekstrem bersamaan dengan angka kemiskinan nasional, untuk memenuhi amanat Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Kemiskinan ekstrem Indonesia pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,85 persen atau 2,38 juta orang. Kondisi ini lebih baik dibanding Maret 2024, dimana kemiskinan ekstrem tercatat 1,26 persen atau sekitar 3,56 juta orang.
Beras dan roko masih menjadi penyumbang utama kemiskinan. Di perkotaan beras menyumbang 21,06 persen terhadap garis kemiskinan, rokok filter 10,72 persen. Di pedesaan beras menyumbang 24,91 persen dan rokok kretek filter 9,99 persen.
Baca juga: Rumah dan Rokok Penyumbang Kemiskinan Terbesar Selain Beras
Besaran sumbangan rokok itu, jauh lebih besar dibanding bahan makanan pokok seperti telur dan daging ayam (posisi 3 dan 4), yang masing-masing hanya 4,50 persen dan 3,62 persen serta serta 4,22 persen dan 2,98 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan pedesaan.
Untuk komoditas bukan makanan, penyumbang tertinggi kemiskinan adalah perumahan atau biaya tempat tinggal sebesar 9,11 persen di perkotaan dan 8,99 persen di perdesaan. Kemudian bensin kedua dengan sumbangan 3,06 persen di perkotaan dan 3,03 persen di perdesaan.
Secara keseluruhan, komponen makanan menyumbang 74,58 persen dari garis kemiskinan (73,67 persen di perkotaan dan 76,07 persen di pedesaan), non-makanan (sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan) 25,42 persen (26,33 persen di perkotaan dan 23,93 persen di pedesaan).