Uang Beredar Sedikit Turun, Menkeu Tambah Likuiditas Perbankan Rp76 Triliun
Uang beredar adalah indikator aktivitas ekonomi. Kenaikan atau penurunan uang beredar mengindikasikan bertambah atau berkurangnya likuiditas atau jumlah uang untuk bertransaksi di pasar. Artinya, uang beredar adalah salah satu indikator lesu atau bergairahnya ekonomi.
Sejak Juni 2025, jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) terus meningkat pertumbuhannya secara tahunan (yoy). Pada Juni 2025 tumbuh 6,5 persen dibanding 4,9 persen pada Mei 2025 (terendah sejak Januari 2025). Pada Juli 2025 pertumbuhannya naik menjadi 6,6 persen, Agustus 7,6 persen, dan September 8 persen.
M2 adalah M1 + uang kuasi, serta surat berharga yang diterbitkan sistem moneter dan dimiliki swasta domestik dengan sisa tenor sampai 1 tahun, plus surat berharga selain saham. Yang terakhir ini porsinya hanya sekitar 1 persen alias tidak signifikan mempengaruhi uang beredar.
M1 adalah uang kartal (kertas dan logam) atau uang yang dipegang masyarakat (di luar bank umum dan BPR), termasuk tabungan yang bisa ditarik sewaktu-waktu dan giro rupiah. Sedangkan uang kuasi adalah deposito dan tabungan lain (rupiah dan valas) serta giro valas.
Pada Oktober 2025 Bank Indonesia melaporkan, pertumbuhan M2 sedikit menurun menjadi 7,7 persen (yoy) menjadi Rp9.783,1 triliun. Dipengaruhi pertumbuhan M1 dan uang kuasi masing-masing 11 persen dan 5,5 persen, dibanding September sebesar 10,7 persen dan 6,3 persen.
Pada M1 hanya tabungan rupiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu yang tumbuh lebih tinggi dari 5,2 persen menjadi 6,2 persen. Dua komponen lainnya menurun pertumbuhannya.
Sedangkan pada uang kuasi, hanya tabungan lainnya yang meningkat dari 8,5 persen menjadi 9,9 persen. Simpanan berjangka atau deposito serta tabungan lain dan giro valas menurun pertumbuhannya.
Baca juga: September Jumlah Uang Beredar Kian Besar. Tanda Ekonomi Terus Membaik?
Menurut Bank Indonesia, perkembangan likuiditas pada Oktober 2025 itu dipengaruhi oleh aktiva luar negeri bersih, penyaluran kredit, dan tagihan bersih BI kepada pemerintah pusat (pempus), yang kesemuanya menurun.
Aktiva luar negeri bersih adalah selisih tagihan kepada bukan penduduk (entitas asing) dengan kewajiban kepada bukan penduduk.
Tagihan bersih kepada pempus, adalah selisih bersih antara tagihan (kredit) BI kepada pempus dan kewajiban BI kepada pempus (rekening pemerintah pusat di BI).
Aktiva luar negeri bersih Oktober 2025 hanya tumbuh 10,4 persen dibanding September 12,6 persen. Penyaluran kredit tumbuh 6,9 persen dibanding September 7,2 persen.
Tagihan bersih sistem moneter (BI) kepada pempus hanya tumbuh 5,4 persen dibanding 6,5 persen pada September 2025, menyusul penarikan dana Sisa Anggaran Lebih (SAL) pemerintah di BI Rp200 triliun, untuk ditempatkan di perbankan guna mendorong penyaluran kredit.
Pemerintah cq Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah bereaksi terhadap penurunan tipis jumlah uang beredar itu, dengan menambah lagi likuiditas perbankan Rp76 triliun.
Kalau yang Rp200 triliun ditempatkan di 5 bank BUMN (BRI, Mandiri, BNI, BTN, dan BSI), yang Rp76 triliun ke BRI, Mandiri, BNI, dan Bank DKI, masing-masing sebesar Rp25 triliun plus Rp1 triliun untuk Bank DKI.
Baca juga: Menkeu Guyur Likuiditas Rp200 triliun, Tapi Penyaluran Kredit Malah Turun
Menkeu saat jumpa pers APBN KiTA Oktober 2025, Kamis (20/11/2025), menyebut tambahan likuiditas itu merupakan bagian dari komitmen menjaga likuiditas di pasar, serta upaya memastikan penyaluran kredit tetap berjalan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Purbaya memandang, dampak penurunan jumlah uang beredar cukup signifikan, sehingga pemerintah perlu menyuntikkan tambahan likuiditas, guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang disebutnya akan jauh lebih tinggi pada triwulan empat.