Dampak Pengenaan Tarif Impor 32 Persen, Kurs Rupiah Bisa Tembus Rp17.000

Kendati bursa dan pasar surat utang Indonesia masih tutup terkait libur Idul Fitri, perdagangan valuta asing tetap berjalan.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan Jum’at (4/4/2025) mencatat nilai Rp16.653 per dolar AS (USD). <erosot dibanding penutupan perdagangan Kamis pekan lalu (27/3/2025) yang tercatat di level Rp16.566.
Sebelumnya Kamis (3/4/2025), nilai tukar rupiah melemah 59 poin atau 0,36 persen menjadi Rp16.772 per USD, dan saat penutupan perdagangan merosot lagi 33 poin atau 0,20 persen menjadi Rp16.746.
Bahkan, mengutip data Bloomberg, Jum’at malam waktu Indonesia hingga pukul 20.53 WIB, kontrak rupiah Non-Deliverable Forward (NDF) yang diperdagangkan di pasar luar negeri ambrol 1,58 persen ke level Rp17.006 per USD.
Pemicunya terutama adalah penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Donald Trump terhadap Indonesia sebesar 32 persen, yang diperkirakan akan melemahkan ekspor Indonesia ke AS sebagai pemasok utama valuta asing ke Indonesia.
Para pengamat memperkirakan, penerapan tarif impor barang dari Indonesia oleh AS yang agresif itu akan makin melemahkan nilai tukar rupiah.
Baca juga: Asing Mulai Kembali Masuk ke Pasar Saham, Tapi Rupiah Tetap Melemah
Pada pembukaan perdagangan Senin (7/5/2025), nilai tukar rupiah diprediksi dibuka di level Rp16.700-16.800 per dolar AS, dan terus melemah menembus level psikologis Rp17.000, melampaui kurs rupiah saat krisis moneter 1988.
Alasannya, kebijakan tarif yang agresif oleh Presiden Trump itu akan memicu peningkatan inflasi di AS, karena makin mahalnya harga barang di negara tersebut.
Untuk mengendalikannya, bank sentral AS, The Federal Reserve, kemungkinan tetap mempertahankan suku bunga acuan yang tinggi atau bahkan menaikkannya.
Dampak lebih jauh, investor asing portofolio bisa menarik dana mereka dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena imbal hasil dalam USD lebih menarik, yang makin memperlemah nilai tukar rupiah.
Apalagi, penerapan tarif resiprokal Trump yang agresif itu bila memang konsisten diterapkan dan gagal dikelola pemerintah, juga berpotensi memperbesar defisit transaksi berjalan Indonesia.