8 Industri Rawan PHK Karena Relaksasi Impor Produk Jadi. Revisi Permendag Disambut

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, kebijakan relaksasi impor produk jadi melalui Permendag Nomor 8/2024, menekan permintaan domestik sejumlah industri manufaktur dalam negeri dan utilisasi produksinya.
Pasalnya, relaksasi itu membuat Indonesia dibanjiri produk jadi impor, sehingga memicu penutupan beberapa industri dan meningkatkan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terutama di delapan kelompok industri utama, seperti alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi.
Karena itu Kemenperin mengapresiasi kebijakan Deregulasi Pemerintah untuk Kemudahan Berusaha dan Pengendalian serta Pembatasan Impor Produk Jadi di subsektor tekstil dan produks tekstil, pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi sebagai langkah mitigasi sekaligus upaya menjaga ketahanan industri nasional.
Kebijakan yang dirilis akhir Juni 2025 itu, antara lain merevisi Permendag tersebut di atas. Menurut Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief, revisi Permendag itu membatasi impor secara selektif dengan mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi.
“Kami yakin kebijakan baru tersebut akan berdampak positif terhadap variabel pesanan dalam IKI (Indeks Kepercayaan Industri), khususnya pada subsektor industri tekstil dan pakaian jadi. Dengan pembatasan impor secara selektif, pesanan produk dalam negeri akan meningkat, memulihkan permintaan dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri,” kata Febri melalui keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).
Ia menyebutkan, pada Juni 2025 pesanan pada industri tekstil, produk pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi mengalami kontraksi (minus), yang menunjukkan kebijakan relaksasi impor sebelumnya telah menekan permintaan domestik.
Baca juga: Manufaktur Indonesia dan Sejumlah Negara ASEAN Makin Payah, Tenaga Kerja Dikurangi
Dalam rilis IKI Juni 2025, Kemenperin menyatakan ada lima subsektor yang mengalami kontraksi IKI. Yaitu, Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (KBLI 15), Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (KBLI 26), Industri Peralatan Listrik (KBLI 27), Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28), dan Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33).
Kontraksi subsektor KBLI 15 antara lain akibat merosotnya permintaan ekspor, dari USD809,14 juta (Maret) menjadi USD634,88 juta (April) atau merosot 21,54 persen. Pelemahan ekspor terjadi hampir merata ke semua negara, termasuk ke Amerika Serikat yang menurun hingga 21,51 persen.
Walaupun begitu, subsektor KBLI 15 tetap mencatatkan lonjakan investasi dari Rp2,29 triliun menjadi Rp7,03 triliun pada triwulan I-2025 dengan utilisasi produksi masih tinggi.
Adapun subsektor lain yang turut mengalami tekanan pada Juni 2025 adalah Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik (KBLI 26), serta Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28), akibat melemahnya permintaan dalam dan luar negeri.
Produksi melambat, stok menumpuk, dan penurunan tajam juga terjadi di Industri Peralatan Listrik (KBLI 27). Sementara subsektor Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33) ikut terdampak oleh kontraksi di industri mesin.
“Sementara industri keramik dan peralatan listrik, mengalami kenaikan permintaan karena sudah dimulainya beberapa proyek infrastruktur dan konstruksi pemerintah,” ungkap Febri.
IKI Juni 2025 sendiri masih berada di fase ekspansi dengan indeks 51,84, namun menurun dibanding IKI Mei 2025 yang tercatat sebesar 52,11, dan Juni 2024 sebesar 52,50.
IKI sektor industri berorientasi ekspor tercatat sebesar 52,19 (turun 0,14 poin dari Mei 2025), dan sektor domestik 51,32 (turun 0,50 poin). terutama dipengaruhi oleh ketidakpastian global seperti kebijakan tarif AS yang mengganggu rantai pasok, serta kenaikan harga energi dunia terutama harga gas, akibat peningkatan eskalasi konflik di Timur Tengah.