Gubernur BI: Ekonomi Dunia Makin Payah

Perekonomian dunia masih dalam tren melambat sebagai dampak penerapan tarif resiprokal (tarif perdagangan timbal balik antar negara) oleh Presiden AS Donald Trump, yang membuat ketidakpastian masih tinggi.
Yang terbaru adalah penerapan tarif resiprokal 50 persen untuk India, dan ancaman Trump kepada Uni Eropa untuk menerapkan tarif 100 persen terhadap Tiongkok dan India karena masih mesra dan membeli minyak dari Rusia.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, berbagai indikator menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di sebagian besar negara, disertai disparitas pertumbuhan antarnegara.
“Di Amerika Serikat (AS), keyakinan pelaku ekonomi menurun seiring implementasi kebijakan tarif yang berdampak pada melemahnya konsumsi rumah tangga dan naiknya tingkat pengangguran,” kata Perry saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan BI di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Sementara ekonomi Tiongkok juga melambat, akibat menurunnya ekspor terutama ke AS sebagai dampak tarif resiprokal yang dikenakan Trump, dan melemahnya permintaan domestik khususnya investasi.
Ekonomi Eropa dan Jepang juga dalam tren menurun, sejalan dengan tertekannya kinerja ekspor. Sedangkan ekonomi India sedikit meningkat, ditopang stimulus fiskal untuk mendorong konsumsi.
“Dengan semua perkembangan tersebut, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 masih berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sekitar 3 persen,” jelas Perry.
Baca juga: Gubernur BI: Pemerintahan Trump Akan Bikin Ekonomi Global Lebih Muram
Prospek ekonomi dunia yang belum kuat dan menurunnya tekanan inflasi, mendorong sebagian bank sentral menempuh kebijakan moneter akomodatif, kecuali di Jepang.
Probabilitas penurunan bunga acuan bank sentral AS Fed Funds Rate (FFR), juga semakin tinggi sejalan dengan naiknya tingkat pengangguran di AS.
Di pasar keuangan global, imbal hasil atau yield surat utang pemerintah AS atau US Treasury (UST) Note, menurun sejalan dengan ekspektasi penurunan FFR dan mendorong pelemahan indeks mata uang dolar AS (DXY).
Dengan masih tingginya ketidakpastian, aliran modal global ke komoditas emas semakin meningkat, sedangkan aliran modal ke emerging market (EM) seperti Indonesia tertahan.
“Ke depan volatilitas pasar keuangan global masih terus berlanjut, sehingga perlu diantisipasi dengan penguatan berbagai respons dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional,” pungkas Gubernur BI.