Opini: APBN Bukan Talangan Bisnis Whoosh
Oleh Muhammad Joni
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)
Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU)
Ketua PB Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI)
Opini ini pendapat pribadi
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) cepat menggema dari Jakarta, seolah mengetuk pintu logika fiskal bangsa: “Pemerintah, APBN, pasti akan jadi bagian…..yang jelas tadi kita bicara infrastruktur, negara akan hadir di situ.”
— AHY, 3 November 2025, usai rapat koordinasi infrastruktur.
Kata “akan jadi bagian” langsung menimbulkan riuh. Apakah negara akan menalangi utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang digarap PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC)?
AHY kemudian menambahkan, akan ada sharing responsibility dan burden sharing antara pemerintah dan operator, namun “secara spesifik akan dijelaskan di kesempatan lain”. Kalimat yang menggantung itu meninggalkan ruang tafsir lebar-dan potensi moral hazard yang dalam.
KCIC: Bukan Pemerintah, Tapi Korporasi
Perlu ditegaskan: KCIC adalah perusahaan patungan, hasil kerja sama bisnis-to-bisnis antara BUMN Indonesia dan China Railway Corporation. Ia bukan lembaga negara, bukan badan hukum publik, dan tidak lahir dari perjanjian antar-pemerintah (G-to-G).
Dalam sistem hukum keuangan negara, APBN hanya boleh dipakai untuk kepentingan publik yang memiliki dasar hukum jelas. Sementara KCIC tunduk pada hukum privat: setiap keuntungan dan kerugian adalah tanggung jawab bisnis, bukan rakyat.
Maka dan maka jika proyek ini rugi, logika konstitusionalnya sederhana: tanggung jawab itu berhenti di meja direksi, bukan di meja kas negara.
Pun demikian, Majelos Pembaca mafhum bahwa BUMN yang tergabung dalam KCIC kini bernaung di bawah holding Danantara, bukan lagi di bawah kendali langsung Menteri Keuangan. Maka dan maka keuntungan dan kerugian menjadi urusan korporasi, bukan fiskal negara.
Jika Danantara berhak atas laba saat proyek sukses, maka Danantara pula yang wajib menanggung ketika utang menumpuk. Jangan seperti pepatah bernilai jiwa hukum: tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Tiba di Whoosh hutang swasta dibayarkan? Pepatah hukum itu analog ajaran klasik Donald Black, hukum pro ke kekuasaan. Bak bejana berhubungan, semakin tinggi kekuasaan semakin merunduk hukum.
Seruan mendasar opini ini, kedaulatan APBN tidak boleh ditarik masuk hanya karena “Whoosh” adalah dianggapkan proyek strategis nasional.
Strategis? Mungkin ya juga mungkin tidak, lagi. Karena begitulah sifat belied nan nuansa politis. Tapi itu tidak serta-merta menjadikannya sakral untuk diselamatkan dengan uang publik.
Baca juga: Opini: AADW, Dance with The Whoosh
Jalan Pikiran Kabinet
Dari pernyataan AHY, tampak kabinet sedang mencari formula: bagaimana menjaga reputasi proyek besar tanpa merusak disiplin fiskal. Pemerintah ingin “hadir”, tetapi berhati-hati agar tidak tampak menanggung langsung utang korporasi.
Namun setiap kali kata “APBN” disebut tanpa garis batas tegas, publik berhak dag dig dug tanda khawatir: apakah ini awal dari praktik talangan bisnis dengan APBN cq. uang rakyat?
Karena bila rel hukum ditekuk demi proyek, maka kecepatan kereta bukan lagi simbol kemajuan-melainkan peringatan.
Kedaulatan Fiskal dan Akal Sehat
Pasal 23 ayay (1) UUD 1945 menyatakan: semua pengeluaran negara harus berdasar undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata kuncinya: undang-undang (UU), secara terbuka, bertanggungjawab, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Membayar utang korporasi bukanlah kemakmuran rakyat. Itu hanya kenyamanan segelintir pemegang saham. Dengan UU artinya bukan kesepakatan sektoral. Secara terbuka, artinya ada partisipasi bermakna bukan di ruang sunyi transparansi publik. Bertanggungjawab maknanya: ada akibat hukum. Sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sekelumit elit bisnis.
Jika proyek KCIC ini terbukti bermasalah-markup, kesalahan desain, atau pembengkakan biaya-biarkan hukum pidana ekonomi menelusurinya. Jangan jadikan APBN sebagai penutup luka-luka manajerial.
Pembaca. Whoosh boleh melaju 350 km/jam menembus Parahyangan, tapi bila akal sehat hukum kita berhenti di stasiun kepentingan, maka bangsa ini sedang meluncur cepat ke jurang ketidakadilan fiskal.
Biarkan Danantara bertanggung jawab sebagai korporasi. Biarkan hukum publik berdiri tegak tanpa tunduk pada tekanan proyek. Sebab kemajuan bukan diukur dari kecepatan kereta, melainkan dari keteguhan kita menjaga uang rakyat.
Pernyataan ori Menkeu Purbaya Yudi Sadewa tak gunakan APBN untuk membayar utang Whoosh bukan hanya sikap berani dan konstitusional, tapi taruhan menjaga mandat dan tanggungjawab pada uang rakyat. Untuk tak lagi bermalas-malas pada misi bermartabat ini: “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.