Memilih Material Ramah Lingkungan
Gaya hidup
Selain jenis material, cara mendapatkan, dan dampaknya terhadap lingkungan, gaya hidup juga menentukan apakah sebuah hunian ramah lingkungan atau tidak. Misalnya, bagaimana kita menggunakan air dan melestarikan sumber air. Apakah cukup hemat dan menyisakan area resapan? Bagaimana pula pengelolaan sampahnya, berapa persen yang di-recycle.
“Sampah banyak tapi diolah, lebih green dibanding sampah sedikit tapi tidak diolah. Begitu juga septic tank, harus diolah. Kalau sekadar tempat pembuangan itu tidak green,“ kata Tri. Bila harus memakai material tahan lama yang diproduksi dengan energi besar seperti semen dan keramik, pastikan bangunannya permanen untuk jangka waktu lama.
Kalau hanya bangunan sementara atau semi permanen, sebaiknya gunakan material yang renewable. Sering karena perubahan tren, orang mudah sekali bosan dengan desain rumahnya. Walhasil rumah beton yang masih kokoh pun dibongkar supaya bisa mengikuti tren. “Ini tidak ramah lingkungan karena kita sangat boros menggunakan sumber daya alam,“ tegasnya.
Materialnya sebaiknya juga diperoleh di lokasi, tidak “diimpor“ dari kota lain yang jauh apalagi dari luar negeri. “Material yang dibeli dekat rumah lebih green dibanding bahan serupa tapi didapat dari lokasi yang jauh,“ ujarnya. Lokasi rumah pun upayakan dekat terminal bis, stasiun kereta, atau angkutan umum lainnya, sehingga penggunaan mobil pribadi bisa dikurangi. Yudiasis Iskandar
Berupaya Ramah Lingkungan
Kendati di Indonesia belum ada standar baku mengenai material ramah lingkungan, sudah ada beberapa produsen yang dengan inisiatif sendiri (voluntary) berupaya menghasilkan produk eco friendly. Contohnya, produsen kaca Asahimas yang membuat produk dengan memanfatkan limbah pecahan kaca selain pasir silika sebagai bahan baku utama.
Sementara PT Venus Ceramica Industry, produsen keramik Monalisa dan keramik mozaik Venus, melansir Monalisa environmental white yang zat putihnya menggunakan magnesium, bahan yang biasa dipakai untuk mewarnai table ware porselein yang aman bagi manusia, dan bukan khlor.
Sedangkan untuk produk dari hasil hutan seperti kayu, kertas, dan turunannya sudah ada Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang memberi sertifikasi. Menurut Indra S Dewi dari Divisi Komunikasi dan Advokasi LEI, dengan sertifikasi itu semua bahan baku kayu yang dipakai dipastikan diperoleh secara legal atau dari hutan lestari.
“Hanya saja sertifikat LEI baru mencakup produsen kayu bulat (log) dari hutan dan mebel untuk tujuan ekspor, karena permintaan produk ramah lingkungan memang lebih banyak dari luar negeri,“ katanya. Tanpa label LEI pasar di negara-negara maju tidak mau menerima produk kayu dari hutan Indonesia.
Sumber: Majalah Housing Estate
