Soal Kredit Properti, Bank Tidak Selalu Patuh Pada BI
Kalangan perbankan ternyata tidak selalu patuh pada Bank Indonesia. Beberapa kebijakan BI untuk mengendalikan kredit properti diselingkuhi perbankan dengan mengabaikan ketentuan yang digariskan bank sentral itu. Ini disampaikan seorang eksekutif sebuah bank BUMN menanggapi pengetatan KPR inden oleh Bank Indonesia seperti tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit Properti.

Menurut aturan tersebut KPR inden dapat cair setelah bangunannya selesai. Selain itu pemberian KPR inden harus disertai jaminan dari pengembang senilai KPR yang diberikan. Bila nilai KPR di satu proyek senilai Rp10 miliar, nilai jaminannya juga sebesar itu. Jaminan bisa berupa bank garansi, LC, dan deposito.
Menurut bankir tadi pengendalian kredit properti melalui penjaminan dari pengembang sudah pernah dilakukan oleh BI. Dulu istilahnya corporate guarantee atau jaminan setor tunai. “Waktu aturan seperti ini terbit di antara bank-bank seperti ada kesepakatan untuk tidak memberlakukan karena developer nggak ada yang mau. Jadi, kita masih bisa tetap jalan. Sekarang BI lebih ketat, bank-nya bisa didenda kalau tidak memberlakukan ini, makanya kita juga pusing nggak bisa jualan,” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Selasa (11/8).
Ia menyebutkan, dulu aturan yang dikeluarkan BI untuk mengerem laju KPR seperti tidak berdampak. Pertumbuhan KPR terus naik. Bank kemudian dipanggil untuk dimintai keterangan karena dinilai ngakali BI. “Saya jelaskan konsumen perumahan di Indonesia itu besar banget, kebutuhan rumah tinggi, semua segmen dari kelas bawah sampai atas cari rumah sesuai kebutuhannya. Makanya KPR tetap tumbuh, apalagi waktu itu cost of fund juga rendah,” jelasnya.
Ia memahami berbagai aturan yang dikeluarkan BI itu untuk menjaga agar industri properti tetap kondusif. Beleid ini untuk mencegah terjadinya over value yang dapat menyebabkan bubble. Namun menurutnya, BI tidak boleh melakukan generalisasi terhadap sektor properti, sebab yang mengalami over value hanya beberapa kawasan tertentu.
Bankir lainnya mengatakan pihaknya disalahkan BI karena kredit konstruksi yang disalurkan mengalami pertumbuhan. Ia mengakui ini terjadi sebagai dampak dari makin ketatnya KPR. “Karena aturan KPR kian sulit banyak developer mengajukan kredit konstruksi, akibatnya kredit konstruksi terus tumbuh,” imbuhnya.