Desain Rumah Pasca Pandemi Harus Kembali ke Khittah Arsitektur

Di wilayah tropis yang lembab seperti Indonesia, idealnya rumah didesain dengan banyak bukaan dan lubang ventilasi, supaya mendapat banyak cahaya alami dan sirkulasi udaranya lancar. Ruangan yang lembab adalah tempat ideal berkembang biaknya bakteri dan virus. Namun, di kebanyakan rumah real estate, pakem itu sering tidak diikuti. Rumah didesain memiliki bukaan tapi tanpa lubang ventilasi. Sirkulasi udara ruangannya mengandalkan AC.
“Kalau diadakan lubang ventilasi, AC jadi mubazir,” kata seorang arsitek yang banyak merancang rumah real estate dalam sebuah wawancara dengan HousingEstate beberapa waktu lalu. Ia menambahkan, di perkotaan yang udaranya panas dan kurang vegetasi, AC penting supaya rumah nyaman dihuni. Karena sangat mengandalkan AC, pada siang hari pun jendela di kebanyakan rumah real estate tak pernah dibuka.
Pada sebagian kecil rumah, lubang ventilasi itu diadakan. Karena semua rumah dirancang dalam bentuk deret yang menempel satu sama lain, lubang ventilasi untuk pertukaran udara itu dibuat di bagian depan dan belakang di atas pintu dan jendela. Namun, setelah dihuni, ventilasi itu akhirnya juga tak berfungsi. Misalnya, karena penghuni memasang AC di rumah., atau karena bangunan rumah diperluas di bagian belakang.
Resirkulasi udara AC berbahaya

Sekarang pandemi Covid-19 memaksa kita mematuhi prinsip desain “banyak bukaan dan punya ventilasi” itu, bukan hanya pada rumah tapi semua bangunan. Pasalnya, Organisasi Kesehatan Dunai WHO awal Juli mengakui, penularan virus Corona melalui udara (airborne) memang mungkin terjadi. Pasalnya, ada sebagian droplet (semprotan air liur atau lendir dari orang yang batuk atau bersin) yang menguap lebih cepat ketimbang jatuh ke tanah, meninggalkan inti berukuran kurang dari lima mikrometer alias mikro droplet. Bentuknya berupa aerosol yang tidak terlihat dan melayang-layang di udara. Virus dari aerosol di udara ini mudah menular di ruangan dengan ventilasi yang buruk.
“Mikro droplet bisa berada di udara untuk waktu yang relatif lama, apalagi pada ruangan dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang buruk,” kata dr Achmad Yurianto, Dirjen Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, saat masih menjadi juru bicara pemerintah pada Gugus Tugas Penanganan Covid-19, medio Juli lalu di Jakarta. “Siapapun yang berada di ruangan itu dan tidak terlindung karena tak pakai masker, atau tak memakai masker dengan baik, sangat bisa tertular,” lanjutnya.
Karena itu ia meminta semua bangunan dibuat memiliki sirkulasi udara yang baik, sehingga udaranya selalu berganti. “Paksakan udara di ruangan bergerak, apakah menggunakan kipas angin atau penghisap udara. Pagi hari semua jendela dibuka supaya udara segar masuk ke dalam ruangan,” tegasnya. Itu berarti, re-sirkulasi udara dari penggunaan AC terus menerus di dalam rumah menjadi berbahaya karena tak ada pertukaran udara. Jadi, virus tidak lepas ke luar tapi tetap di ruangan. Yuri menggambarkan keberadaan virus di mikro droplet itu seperti asap rokok di sebuah ruangan. Selama masih ada baunya, selama itu pula asap itu belum lepas ke luar.
Makin krusial karena WFH
Sirkulasi udara yang baik itu makin krusial, karea menguatnya tren bekerja dan belajar dari rumah (work from home/WFH, study from home/SFH)). Jadi, kini rumah bukan hanya hunian tapi juga tempat bekerja, sekolah, bermain, ngumpul, ibadah bareng, dan lain-lain. Intensitas penggunaannya meninggi. Tanpa ruangan yang sehat, rumah-rumah bisa berubah menjadi tempat penularan virus mematikan.
Sebagian developer sudah merespon tren WFH/SFH itu dengan menawarkan produk hunian sekaligus tempat kerja dan belajar. Antara lain PT Intiland Development Tbk di Graha Natura, Surabaya (Jawa Timur), PT Perintis Triniti Properti Tbk melalui The Scott Home Studio di apartemen Collins Bulevard, Serpong, Tangerang Selatan (Banten), dan Sinar Mas Land (SML) lewat O+ Urban Pop di kota baru Grand Wisata, Bekasi (Jawa Barat). Huniannya tipe kecil seluas hingga 50-an m2 seharga Rp600 jutaan sampai Rp1,2 miliar/unit.
Hanya, fokus desainnya lebih pada sisi kepraktisan hunian sebagai tempat WFH/SFH dan kehandalan sistem digital yang menunjangnya. Karena itu hunian dipasarkan sudah berikut perabot dan sistem digitalnya. Desain bukaan dan sirkulasi udaranya praktis belum dieksplorasi. Memang, menjadi tantangan tersendiri bagi desainer untuk mewujudkan hunian dengan bukaan dan sirkulasi udara yang baik agar harganya tetap terjangkau. Terlebih di apartemen.
Tapi, apapun, kita harus mewujudkannya bila ingin terhindar dari virus itu. Menurut aristek Wahyu Achadi, Direktur HomeWork Design and Build (Jakarta), desain yang mengikuti prinsip arsitektur, sebenarnya dengan sendirinya kompatibel dengan protokol kesehatan Covid-19. Di daerah tropis misalnya, ilmu arsitektur mengajarkan, rumah harus punya cukup bukaan dan ventilasi udara. Ruang hijaunya juga cukup memadai.
Setidaknya harus ada dua ventilasi di rumah sebagai pintu keluar masuk udara. “Kalau tidak memungkinkan, bisa dibuatkan penghisap udara, void atau jendela di atas area tangga, dan lain-lain,” katanya. Selain itu upayakan menyisakan lahan hunian untuk vegetasi yang menyerap panas dan menghasilkan oksigen. Supaya rumah tidak harus menggunakan AC, arah hadapnya dibuat ke utara-selatan, dan bangunannya dibuat lebih slim, tidak gemuk.
Sarana bilas dan tempat sepatu
Rumah juga perlu menyediakan tempat bilas di bagian depan, serta tempat manaruh sendal dan sepatu. Jadi, alas kaki tidak dipakai hingga ke dalam rumah kendati terlihat bersih. Saat beraktivitas di luar rumah, alas kaki paling mungkin menginjak droplet di permukaan tanah atau lantai. Jadi, berbahaya tetap menginjakkannya di dalam rumah setelah pulang.
Menerima tamu pun tidak perlu di dalam rumah, paling tidak untuk sementara sampai pandemi berakhir. Sediakan tempat tersendiri di bagian tertentu di rumah untuk pengantar surat, paket, galon air, tabung gas, dan lain-lain menaruh barangnya. Jadi, tak ada kontak fisik atau komunikasi dalam jarak dekat. Itu berarti rumah mungkin perlu teras kecil dan kran air di depan, serta jalur/tempat khusus untuk menaruh barang dari luar, dan lain-lain.
“Desain rumah seperti itu sudah saya terapkan sejak dulu. Ada dropbox untuk menaruh paket, keran air di luar, dan kalau memungkinkan ada akses tersendiri untuk pengantar tabung gas, galon air, dan lain-lain ke area yang disediakan. Ilmu arsitektur sudah mengatur soal zonasi ruang yang baik itu. Hanya, selama ini banyak yang tidak menerapkan karena lebih mengejar estetika,” jelas Wahyu. Apakah pandemi bisa memaksa developer dan desainer kembali ke khittah arsitektur itu?