Senin, Oktober 20, 2025
HomeNewsEkonomiIndustri Dapat Kado Buruk di HUT ke-80 RI akibat Pembatasan Pasokan Gas...

Industri Dapat Kado Buruk di HUT ke-80 RI akibat Pembatasan Pasokan Gas Bumi Tertentu

Alih-alih bergembira merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, pelaku industri justru menerima kabar buruk.

Produsen gas bumi mengumumkan pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) hingga 48 persen bagi industri manufaktur, sehingga menimbulkan kegelisahan di kalangan para pelakunya.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief menyatakan, pembatasan itu merupakan kado buruk bagi sektor manufaktur nasional.

“Pada momen HUT ke-80 RI seharusnya seluruh rakyat Indonesia termasuk pelaku industri bergembira. Namun, kabar pembatasan HGBT justru menimbulkan luka,” kata Febri usai mengikuti Upacara HUT ke-80 RI di Kantor Kemenperin, Jakarta, Minggu (17/8/2025).

Menurutnya, gas bumi memiliki peran vital baik sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi.

Industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet termasuk di antara penerima manfaat program HGBT, yang selama ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar USD6,5 per MMBTU.

“Ini mengherankan. Pasokan gas harga di atas USD15-17 lancar, tapi pasokan gas USD6,5 tidak lancar. Itu artinya tidak ada masalah dalam produksi dan pasokan gas dari industri hulu gas nasional,” ujar Febri.

Ia mengingatkan, jika terjadi pengetatan HGBT, harga melonjak hingga USD15–17 per MMBTU, mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar.

“Pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK. Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tak terelakkan,” tegas Febri.

Selain itu, lonjakan harga gas juga akan memengaruhi harga produk akhir. “Jika bahan baku naik, otomatis harga produk juga naik. Akibatnya, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk dari luar negeri,” lanjutnya.

Ia menekankan, kestabilan pasokan energi merupakan syarat mutlak bagi keberlanjutan industri. Jika tidak terjaga, upaya pemerintah mendorong investasi dan memperkuat daya saing akan terhambat.

Febri juga mengingatkan, pembatasan HGBT bertentangan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian energi dan pangan, hilirisasi industri serta penciptaan lapangan kerja.

“Pengurangan pasokan HGBT akan berdampak pada ketersediaan pupuk, yang merupakan komponen strategis bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terkena imbasnya, sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terganggu,” paparnya.

Kemenperin menilai alasan keterbatasan pasokan gas tidak masuk akal. “Kalau pasokan memang terbatas, mengapa industri (secara umum) masih bisa membeli gas ketika harganya melonjak hingga USD17 per MMBTU, sementara gas harga USD6,5 terbatas?” tanya Febri.

Baca juga: Manufaktur Bisa Tumbuh Lebih Tinggi Bila Didukung Kebijakan Ini

Menurut dia, meski negara kehilangan sebagian pendapatan dari program HGBT, nilai tambah yang dihasilkan dari produk hilir jauh lebih besar.

“Setiap Rp1 yang hilang di hulu bisa dikompensasi Rp3 dari penciptaan nilai tambah di produk hilir industri pengguna HGBT. Karena itu, lebih bijak bila pendapatan negara difokuskan pada pajak produk hilir hasil hilirisasi gas HGBT, bukan pada gas di hulu,” terang Febri.

Ia optimistis, jika harga HGBT tetap dijaga di level USD6,5 per MMBTU dengan pasokan yang stabil, serta penerimaan pajak difokuskan pada produk hilir, target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo bisa tercapai.

“Insya Allah dengan kebijakan yang tepat, target pertumbuhan itu bukan hanya impian, melainkan dapat benar-benar diwujudkan,” pungkasnya.

Kemenperin sendiri membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT sebagai sarana menerima laporan, keluhan, dan masukan dari para pelaku industri terkait gangguan pasokan gas yang mereka terima.

Sebelumnya Kementerian ESDM menyatakan, terbatasnya pasokan gas, khususnya untuk industri di kawasan Jawa Barat, karena kebakaran di stasiun pengumpul di Gas Line CO2 Removal, stasiun pengumpul di Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang dikelola PT Pertamina EP Subang Field.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebutkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait kondisi pasokan gas itu.

Karena insiden itu, produksi gas dari Pertamina mengalami penurunan sekitar 16 MMBTU, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan industri.

Pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Pertamina agar produksi gas di stasiun pengumpul Subang itu bisa kembali seperti semula, agar kebutuhan gas industri dapat terpenuhi.

Berita Terkait

Ekonomi

Program Magang Berbayar Dibuka Lagi November, Kali Ini Untuk 80 Ribu Sarjana/Diploma

Pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sudah meresmikan peluncuran...

Senin Besok Penyaluran BLT Rp900.000/KK untuk 35 Juta KK Dimulai

Untuk mendongkrak daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,...

Menko Airlangga: Bisa Jaga Pertumbuhan 5 Persen Per Tahun, Indonesia Jadi Negara Bright Spot

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut satu tahun...

Berita Terkini