Pemerintah AS “Shutdown”, Rupiah Menguat

Penutupan operasi (shut down) pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump, karena belum tercapainya kesepakatan anggaran dengan Kongres, mendorong penguatan rupiah.
Pasalnya, “shut down” itu diprediksi pasar akan mendorong bank sentral AS atau The Fed memotong bunga acuan Fed Fund Rate, sehingga dolar AS menjadi kurang menarik dan investor memindahkan portofolionya ke instrumen lain seperti emas dan surat-surat berharga di negara-negara emerging markets seperti Indonesia.
Hal itu tercermin antara lain dari penurunan indeks dolar AS, atau indeks yang menunjukkan pergerakan dolar terhadap 6 mata uang negara utama lainnya (Euro, Yen, Poundsterling, Dolar Kanada, Krona Swedia, dan Franc Swiss), menjadi 97,85.
Bank Indonesia melaporkan, Jum’at (3/10/2025), pada akhir perdagangan Kamis, 2 Oktober 2025, rupiah di pasar uang antar bank di Jakarta (JISDOR) ditutup pada level (bid) Rp16.580 per dolar AS (USD). Menguat 155 poin dibanding penutupan Kamis pekan lalu di level Rp16.735.
Penguatan rupiah itu sejalan dengan penurunan indeks dolar AS atau DXY ke level 97,85, dan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS atau US Treasury (UST) Note 10 tahun ke 4,083 persen.
Baca juga: Premi Risiko Investasi Indonesia Naik Tajam, Rupiah Kian Babak Belur
Penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun terbitan pemerintah Indonesia ke level 6,32 persen, tidak menghalangi penguatan rupiah.
Pada awal perdagangan Jum’at, 3 Oktober 2025, kurs tengah rupiah dibuka sedikit melemah ke level (bid) Rp16.610 per USD dibanding sehari sebelumnya, dan ditutup pada level Rp16.611, namun tetap menguat 164 poin dibanding penutupan perdagangan Jum’at pekan lalu yang tercatat di level Rp16.775 per USD.
Penguatan rupiah yang cukup signifikan itu tidak terhalang oleh penurunan lebih lanjut yield SBN 10 tahun ke level 6,30 persen. SBN adalah salah satu instrumen investasi asing favorit di Indonesia.