Senin, Desember 1, 2025
HomeNewsEkonomiGubernur BI: Ketidakpastian Global Masih Tinggi, Belum Tahu Kapan Berakhir

Gubernur BI: Ketidakpastian Global Masih Tinggi, Belum Tahu Kapan Berakhir

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan, ketidakpastian dunia masih tinggi, akibat proteksionisme yang dikobarkan negara super kuasa Amerika Serikat (AS), dan konflik yang melibatkan negara besar di Eropa dan Timur Tengah.

Peringatan itu disampaikan Gubernur BI saat menyampaikan pidato kunci dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Jakarta, Jum’at (28/11/2025), yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto, para petinggi otoritas keuangan, para menteri, k4epala daerah, para bankir, dan pihak terkait lainnya.

Menurut Perry, Kebijakan proteksionis AS melalui pengenaan tarif perdagangan timbal balik (resiprokal) yang tinggi ke puluhan negara, telah membawa perubahan besar pada lanskap perekonomian dunia.

“Ketegangan geopolitik berlanjut. Kita belum tahu kapan berakhir. Penting untuk eling lan waspodo seperti nasehat Ronggowarsito,” kata Gubernur BI seperti dikutip dari kanal Youtube Bank Indonesia.

Karena ketidakpastian itu, Perry menyatakan, prospek ekonomi global masih akan meredup dalam dua tahun ke depan (2026 dan 2027), dengan lima karakteristik.

Pertama, kebijakan tarif AS berlanjut, yang membuat turunnya perdagangan dunia, meredupnya multilateralisme (kesepakatan antarbanyak negara melalui lembaga global), dan bangkitnya bilateralisme dan regionalisme (kesepakatan atau pembicaraan antar negara atau regional) yang menyudutkan negara yang lemah.

Kedua, pertumbuhan ekonomi dunia melambat, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok, dua negara yang skala ekonominya mencakup sekitar 55 persen ekonomi dunia. Akibatnya, penurunan inflasi lebih lambat yang mempersulit kebijakan moneter bank sentral.

Baca juga: BI Naikkan Kisaran Pertumbuhan Ekonomi 2025 Jadi 4,7-5,5 Persen

Ketiga, tingginya utang pemerintah dan suku bunga negara maju. Defisit fiskal yang besar itu berdampak terhadap tingginya bunga dan beban fiskal negara berkembang (emerging economies) seperti Indonesia.

Keempat, tingginya kerentanan dan risiko sistem keuangan dunia, karena transaksi produk derivatif yang berlipat. Terutama hedge fund dengan machine trading, yang berdampak terhadap pelarian modal dan tekanan nilai tukar di emerging economies.

Kelima, maraknya uang kripto dan stablecoins pihak swasta tanpa pengaturan dan pengawasan yang jelas. Diperlukan central bank digital currency untuk mengatur dan mengawasinya, yang sampai sekarang belum ada.

Kelima gejolak global tersebut, jelas Gubernur BI, berdampak negatif ke berbagai negara. Indonesia tidak terkecuali. Karena itu perlu respons kebijakan yang tepat. Menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan lebih tinggi dan berdaya tahan. Tangguh dan mandiri.

“Alhamdulilah, kita bersyukur ekonomi nasional berdaya tahan dari rentetan gejolak global. Stabilitas terjaga, pertumbuhan relatif tinggi, kuncinya hanya satu, sinergi (antara otoritas fiskal, moneter, dan sektor riil),” ujar Perry.

Baca juga: BI: Pertumbuhan Ekonomi Masih di Bawah Kapasitas

Sinergi dalam lima area penting. Yaitu, (1) memperkuat stabilitas dan mendorong permintaan, (2) hilirisasi, industrialisasi, dan ekonomi kerakyatan, (3) meningkatkan pembiayaan dan pasar keuangan, (4) akselerasi ekonomi keuangan digital nasional, dan (5) kerja sama investasi dan perdagangan internasional.

Dengan sinergi, Gubernur BI optimis kinerja ekonomi Indonesia tahun 2026 dan 2027 akan lebih baik. Pertumbuhan lebih tinggi, konsumsi dan investasi meningkat, ekspor cukup baik di tengah perlambatan ekonomi dunia, dan inflasi terkendali dalam sasaran.

Berita Terkait

Ekonomi

Ratu Maxima: Berutang Terlalu Banyak, Anda Bekerja Hanya untuk Bayar Utang

Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda mengunjungi Indonesia sepanjang 24-27...

AHY: Perlu Keseimbangan Antara Prosperity dan Sustainability

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK)...

Berita Terkini