Masalah Rumah Subsidi pada Daya Beli MBR, Bukan SLIK OJK
Untuk kesekian kalinya Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (Ara) meminta agar kendala pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menghambat masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) membeli rumah subsidi dihapus.
Yang dimaksud Ara kendala, adalah riwayat kredit bermasalah MBR yang tercatat di SLIK, yang membuat mereka kesulitaan mengajukan KPR subsidi ke bank.
Dengan riwayat kredit yang bermasalah itu, kalaupun MBR tetap mengajukan permohonan KPR subsidi, bank cenderung tidak mengabulkannya karena meragukan kemampuan mencicil calon debitur.
Umumnya kredit bermasalah itu bernilai kecil, yang diambil MBR dari pinjaman online (pinjol) dan atau paylater. Karena itu bagi Menteri PKP, tidak seharusnya hal itu menjadi kendala pengajuan KPR subsidi oleh MBR. Kredit macet yang tercatat di SLIK itu bisa diputihkan atau dibayar/ditalangi pengembang rumah subsidi.
Sebaliknya bagi bank, justru karena nilainya yang kecil itu, mereka menjadi ragu mengabulkan permohonan KPR subsidi yang diajukan MBR. Alasannya, kalau kredit 1-2 jutaan saja bermasalah, bagaimana pula dengan kredit ratusan juta untuk membeli rumah subsidi?
Dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP) di Jakarta pekan lalu, Menteri Ara menyatakan, ia menerima banyak masukan terkait SLIK OJK saat turun ke lapangan, yang intinya, SLIK OJK sering menjadi kendala MBR yang ingin membeli rumah subsidi dengan KPR FLPP.
“Terakhir saya turun ke Bali, Bandung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Kita menemukan, (soal SLIK) itu salah satu kendala rakyat membeli rumah subsidi. Yang sudah mendaftar (untuk membeli rumah subsidi), sulit mendapat KPR,” terang Menteri PKP.
Karena itu Ara sangat berharap, soal riwayat kredit MBR di SLIK OJK itu dihapus, guna mendorong lebih banyak MBR yang bisa membeli rumah subsidi dengan KPR FLPP.
Kementerian PKP sendiri tengah dikejar target pencapaian kuota KPR FLPP tahun ini. Sampai 27 November 2025 realisasinya baru 231.343 unit dari target 350.000 unit.
Baca juga: BP Tapera Proyeksikan Realisasi KPR FLPP Tahun Ini Lampaui Target
Menkeu: SLIK bukan kendala
Sebaliknya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang telah mengalokasikan anggaran subsidi Rp35,1 triliun untuk 350.000 rumah MBR itu, tidak sepakat dengan pendapat Ara.
Menurut Purbaya, hingga kini ia masih mempelajari apa betul SLIK OJK menjadi penyebab MBR sulit mengakses KPR subsidi. Ia sendiri berpendapat, SLIK OJK bukan penyebab utama MBR sulit mengakses KPR FLPP.
“Sepertinya bukan SLIK saja yang membuat MBR enggak bisa dapat kredit (rumah subsidi). (SLIK) dihapus pun mereka sebagian besar enggak mampu (membeli rumah subsidi). Jadi, akan kita pelajari lebih lanjut, apakah demand-nya yang lemah atau ada hambatan lain,” ujar Purbaya di tempat terpisah.
SLIK sendiri bagi perbankan memang menjadi salah satu alat untuk menilai kelayakan calon debitur, karena memuat riwayat kredit calon debitur sebelumnya. Jadi, menghapuskan riwayat itu dari SLIK justru menimbulkan risiko bagi bank.
OJK sendiri tidak melarang perbankan menyalurkan kredit kepada debitur dengan kualitas kredit non lancar yang tercatat di SLIK.
Ketua OJK Mahendra Siregar dalam sebuah kesempatan menyatakan, SLIK berisi informasi yang netral, bukan informasi daftar hitam atau blacklist debitur.
SLIK diperlukan untuk meminimalisir asymmetric information dan memperlancar proses pemberian kredit dan pembiayaan. SLIK yang kredibel juga sangat diperlukan untuk menjaga iklim investasi di Indonesia.
Jadi, manajemen risiko masing-masing banklah yang akan menentukan, apakah akan tetap memberikan kredit atau tidak kepada calon debitur yang memiliki riwayat kredit tidak lancar di SLIK.
Baca juga: Untuk Rumah Rakyat Menteri PKP Minta Proses SLIK Disederhanakan, OJK Bentuk Satgas KPR Subsidi
Komisioner BP Tapera: Masalahnya Pada Daya Beli
Kalau Purbaya belum secara tegas menyebut daya beli MBR yang lemah sebagai penyebab sulitnya pencapaian realisasi FLPP tahun ini, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho sudah menyatakannya dengan gamblang.
BP Tapera adalah pelaksana penyaluran subsidi FLPP untuk pembelian rumah subsidi oleh MBR. Menurut Heru, dari seluruh faktor yang ditengarai menjadi kendala penyaluran FLPP, yang paling dominan adalah faktor daya beli masyarakat yang belum pulih.
Ia mengakui, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2025 tetap tumbuh 5,04 persen (yoy), namun melambat dibanding triwulan II-2025 sebesar 5,12 persen.
Konsumsi masyarakat sebagai penopang terbesar pertumbuhan ekonomi yang biasanya tumbuh lebih dari 5 persen, saat ini (triwulan tiga) hanya tumbuh 4,89 persen.
“Data itu memperlihatkan, daya beli masyaraat masih tertahan, belum pulih. Perlu upaya mendorong konsumsi dan memperbaiki daya beli,” kata Heru melalui keterangan tertulis, Sabtu (22/11/2025).
Komisioner Heru menyebut indikator lain yang memperlihatkan belum pulihnya daya beli. Yaitu, Survei Konsumen Bank Indonesia yang mengungkapkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di angka 115 pada September 2025 dibanding 123,5 pada 2024, kendati Oktober 2025 sudah naik menjadi 121,2.
Heru mengakui, pemerintah sudah melansir paket stimulus ekonomi “8+4+5” (8 program akselerasi 2025, 4 program lanjutan di 2026, dan 5 program penciptaan lapangan kerja), tapi paket tersebut juga belum mampu mendongkrak daya beli masyarakat.
Baca juga: Banyak Pengajuan KPR Ditolak Bank Gegara Pinjol, OJK Bilang Begini
Lemahnya daya beli MBR itu juga terlihat pada peningkatan utang pinjol dan paylater, yang umumnya diambil kalangan menengah ke bawah. OJK mengungkapkan, per September 2025 outstanding pinjol tumbuh 22,16 persen (yoy) menjadi Rp90,99 triliun.
Pengamat menyatakan, peningkatan utang pinjol yang nilainya kecil-kecil itu menunjukkan masyarakat menengah bawah mengalami kesulitan keuangan.
Hal itu diperkuat dengan kenaikan kredit macet atau tingkat wan prestasi 90 hari (TWP90) pinjol, ke posisi 2,82 persen dibanding Agustus 2025 yang hanya 2,60 persen.
TWP90 pinjol per September 2025 itu juga melampaui TWP Juli 2025 yang tercatat 2,75 persen, meski masih lebih rendah dibanding TWP90 Juni sebesar 2,85 persen dan Mei 3,19 persen.
Juga melesat pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) oleh perusahaan pembiayaan, sebesar 88,65 persen (yoy) pada September 2025 menjadi Rp10,31 triliun, dibanding 79,91 persen pada Agustus 2025, dengan tingkat kredit macet atau NPF gross 2,92 persen atau sama dengan Agustus 2025.
Pertumbuhan penyaluran paylater pada September 2025 itu merupakan yang tertinggi sejak Mei 2025 yang tercatat 54,26 persen, Juni 56,26 persen, dan Juli 56,74 persen.
Juga tinggi pertumbuhan penyalurang paylater di perbankan, kendati porsinya masih sangat mini, 0,30 persen dari total outstanding kredit perbankan.
Per September 2025 tumbuh 25,49 persen (yoy) dibanding Agustus 2025 sebesar 32,35 persen (yoy) menjadi Rp24,86 triliun, dengan jumlah rekening 30,31 juta dibanding Agustus 2025 sebanyak 29,33 juta, dan tingkat kredit macet atau NPL gross 2,61 persen dibanding Agustus 2025 sebesar 2,69 persen.
Baca juga: Pinjol dan Paylater Terus Ngegas, September Tembus Rp125 Triliun, Kredit Macetnya Meningkat
Hanya fokus pekerja formal
Sebelumnya lagi dalam sebuah media gathering akhir Agustus 2025, soal daya beli MBR itu juga sudah disinggung Ketua Umum The Housing & Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto.
Zulfi menyatakan, pembahasan program perumahan selama ini termasuk program 3 juta rumah, hanya fokus pada aspek pembiayaan dan suplai rumah. Sementara sisi regulasi dan kebutuhan (demand) kurang mendapatkan perhatian.
“Kita belum punya peta permintaan (kebutuhan) hunian yang lengkap berbasis by name by address, sehingga sulit menentukan lokasi dan segmen penerimanya secara presisi,” kata Zulfi.
Ia pun mengungkapkan anomali dalam pasar rumah subsidi saat ini. Backlog (akumulasi kekurangan pengadaan rumah) disebut tinggi, tapi stok rumah subsidi banyak yang tidak terjual.
Anomali itu muncul karena desain kebijakan perumahan tidak membaca persoalan secara utuh, sehingga harga rumah subsidi sulit dijangkau MBR, atau tidak diminati karena misalnya, lokasinya tidak sesuai dengan preferensi mereka.
Sementara Ali Kusno Fusin, anggota Dewan Pembina The HUD Institute, menyebut faktor lain yang membuat beratnya pencapaian FLPP. Yaitu, pengadaan rumah subsidi yang terlalu fokus pada pekerja formal, belum menyentuh pekerja informal.
Padahal, pekerja informal mencapai 60 persen dari total angkatan kerja, pekerja formal hanya 40 persen, dan sebagian pekerja informal itu memiliki penghasilan yang cukup untuk membeli rumah subsidi.
“Tapi, mereka tidak bisa mengakses rumah subsidi, karena tidak tercatat di sistem. Pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh menangani pekerja informal agar bisa mengakses rumah subsidi,” tutur Ali.