Jumat, Desember 19, 2025
HomeNewsEkonomiBI Lansir Kebijakan Ini untuk Dorong Penurunan Bunga dan Penyaluran Kredit

BI Lansir Kebijakan Ini untuk Dorong Penurunan Bunga dan Penyaluran Kredit

Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus berupaya melonggarkan likuiditas perekonomian guna mendorong penurunan bunga dan penyaluran kredit perbankan, yang selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kemenkeu melakukannya melalui penempatan dana SAL di perbankan senilai total Rp276 triliun sejak September lalu. Sedangkan BI melalui aneka kebijakan moneter. Yaitu, melalui penurunan BI-Rate, stabilisasi nilai tukar rupiah, dan ekspansi likuiditas moneter.

Mengutip hasil Rapat Dewan Gubernur BI, 16-17 Desember 2025, yang dirilis Tabu (17/12/2025), sejak September 2024 BI sudah menurunkan BI-Rate 150 bps. Yaitu, 25 bps pada September 2024 dan 125 bps selama tahun 2025 menjadi 4,75 persen hingga November 2025, yang merupakan level terendah sejak tahun 2022.

BI juga sudah menurunkan posisi instrumen moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dari Rp916,97 triliun pada awal 2025 menjadi Rp735,67 triliun pada 16 Desember 2025.

Lalu, membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp327,45 triliun hingga 16 Desember 2025, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan pemerintah sebesar Rp241,99 triliun.

BI juga terus memperkuat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM). Implementasi KLM berbasis kinerja dan berorientasi ke depan yang berlaku sejak 1 Desember 2025 kembali diperkuat pada 16 Desember 2025, guna mempercepat penurunan bunga bank dan mendorong penyaluran kredit.

 

Penguatan dilakukan dengan meningkatkan besaran insentif likuiditas bagi perbankan yang menurunkan bunga kredit lebih cepat (interest rate channel), dari paling tinggi 0,5 persen menjadi 1,0 persen dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank.

Sementara insentif likuiditas untuk penyaluran kredit (lending channel) masih besar, yaitu paling tinggi 4,5 persen dari DPK.

Hingga 16 Desember 2025, total insentif KLM mencapai Rp388,1 triliun. Sebanyak Rp177,1 triliun disalurkan kepada bank BUMN, Rp169,5 triliun bank swasta (BUSN), Rp34,6 triliun BPD, dan Rp7 triliun bank asing (KCBA).
Secara sektoral, insentif KLM disalurkan ke sektor-sektor prioritas: pertanian, industri, hilirisasi, jasa termasuk ekonomi kreatif, konstruksi, real estate, dan perumahan, serta UMKM, koperasi, inklusi, dan berkelanjutan.

“Transmisi suku bunga yang lebih efektif diharapkan mendorong permintaan kredit, sehingga penyaluran kredit perbankan lebih tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” tulis RDG BI.

Kendati kebijakan pelonggaran likuiditas terus dilakukan, saat ini penyaluran kredit masih lemot. Pada November 2025 hanya tumbuh 7,74 persen (yoy), sedikit meningkat dibanding Oktober 2025 sebesar 7,36 persen (yoy).

Sebagai perbandingan, pada September 2025 kredit tumbuh 7,7 persen, Agustus 7,56 persen, Juli 7,03 persen, Juni 7,77 persen, Mei 8,43 persen, dan empat bulan sebelumnya antara 9-10 persenan.

RDG BI menyebut, belum kuatnya permintaan kredit di tengah pasokan likuiditas perbankan yang meningkat, membuat pertumbuhan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) melambat pada Oktober 2025 menjadi 7,72 persen (yoy) dibanding September sebesar 8,02 persen (yoy).

M2 terdiri dari M1 + uang kuasi, serta surat berharga yang diterbitkan sistem moneter dan dimiliki swasta domestik dengan sisa tenor sampai 1 tahun, plus surat berharga selain saham. M2 sering disebut juga sebagai likuidits perekonomia yang mencerminkan lesu atau bergairahnya perekonomian.

Pada November 2025, pertumbuhan uang primer atau M0 (uang yang dipegang masyarakat dan giro bank umum/GWM di BI) tanpa memperhitungkan dampak penurunan GWM bank di BI karena pemberian insentif KLM, juga tercatat melambat menjadi 6,46 persen (yoy) dibanding Oktober 7,75 persen (yoy). M0 adalah bagian dari M2.

Pertumbuhan M0 adjusted atau uang primer yang telah menetralisasi dampak KLM, juga melambat menjadi 13,33 persen (yoy) dibanding Oktober sebesar 14,38 persen (yoy).

Perlambatan pertumbuhan M0 itu, terutama dipengaruhi oleh berkurangnya penempatan excess reserves bank di BI. Excess reserves adalah penempatan dana bank di rekening BI selain GWM.

Tujuan excess reserves, mendorong bank tidak menempatkan kelebihan likuiditasnya di instrumen operasi moneter seperti SRBI. Dengan demikian likuiditas bank tetap terjaga.

Untuk itu BI memberikan renumerasi (imbalan) yang lebih tinggi terhadap excess reserves dibanding bunga GWM yang hanya 1,5 persen. Yaitu, 0,25 persen lebih rendah dari bunga deposit facility di BI yang saat ini tercatat 3,75 persen.

“Pertumbuhan M0 yang melambat itu, juga dipengaruhi oleh masih rendahnya penyaluran kredit/pembiayaan, yang mendorong perbankan menempatkan kelebihan likuiditasnya pada instrumen moneter Bank Indonesia,” tulis RDG BI. Penempatan dana di instrumen moneter, membuat bank tidak leluasa menarik dananya sewaktu-waktu bila dibutuhkan.

Berita Terkait

Ekonomi

Berita Terkini