Senin, Desember 29, 2025
HomeBerita PropertiOpini: Menjadi Kota Tangguh atau Kota yang Dikorbankan

Opini: Menjadi Kota Tangguh atau Kota yang Dikorbankan

Oleh Muhammad Joni
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MAKI)

Kejahatan bencana ekologis Sumatera itu menghantam kota nyaris karam. Bak makhluk organis, puing kota-kota yang luluh lantak itu kudu dihidupkan, lagi.

Bayangkan bila kota bisa berbicara. Sang kota tidak akan meminta gedung lebih tinggi, jalan lebih lebar, atau mal yang berkilau. Kota hanya akan berbisik lirih: “Jangan lukai aku lagi.”

Pengembangan pun transformasi kota-betapapun ambisius dan megah dalam slide presentasi-tidak cukup bila kota diperlakukan sekadar objek pembangunan. Kota bukan diagram. Kota adalah tubuh organisme hidup: tanahnya bernafas, airnya mengalir, terlebih lagi manusianya yang makhluk berharap.

Di sinilah persoalan dimulai. Pembangunan yang verlari, ekologi yang tertatih-cum-tertinggal. Alam bawah sadar kita lancar dan terbiasa menyebutnya “bencana alam”. Padahal sering kali de jure adalah kejahatan ekologis yang dilegalkan secarik perizinan.

Banjir bukan datang tiba-tiba. Longsor tidak muncul tanpa sebab. Krisis air bukan takdir tak bisa diubah. Korban lebih seribuan meninggal bukan kematian yang tak bisa dicegah.

Kejahatan ekologis lahir dari kausal keputusan-keputusan administratif yang berwajah dingin: izin yang ditandatangani tanpa nurani, alih fungsi lahan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, dan kebijakan pejabat kota yang lebih tunduk pada investor ketimbang pada tanah tempat warga berpijak.

Dalam gaya ruang sidang litigasi perkafa struktural, ada satu pertanyaannya sederhana: Siapa terdakwanya? Bukan hujan. Bukan sungai. Bukan gunung. Terdakwanya adalah kebijakan yang meminggirkan ekologi dari perencanaan kota.

Transformasi Kota Tanpa Ketangguhan adalah Lara
Transformasi kota sering dirayakan dengan istilah futuristik: smart city, green city, creative city. Namun kota yang smart tapi mudah tenggelam adalah kota yang rapuh. Kota yang green tapi mengusir rakyat kecil dari bantaran sungai adalah kota yang culas.

Kota Tangguh (Resilient City) bukan proyek kosmetik. Kota seperti itu butuh keberanian moral untuk menempatkan keselamatan warga dan keberlanjutan alam sebagai hukum tertinggi.

Ketangguhan bukan soal seberapa cepat kota pulih setelah bencana, tetapi seberapa serius kota mencegah bencana itu sendiri.

Refleksi 2025: Kota yang Mengkhianati Tanahnya
Penyair langitan menengok rentannya kota mungkin akan menuliskannya begini: kota-kota kita sedang kehilangan ingatan. Kota lupa bahwa dulu rawa adalah penyerap air,
hutan kota adalah paru-paru, dan sungai adalah nadi, bukan selokan raksasa.

Ketika kota lupa asal-usul ekologisnya, maka kota berubah menjadi mesin yang memakan dirinya sendiri. Dan, rakyat kecil selalu menjadi korban pertama: yang rumahnya terendam, yang sekolah anaknya lumpuh, yang hidupnya tenggelam bersama statistik bencana.

Kota Tangguh: Tegakkan Sikap, Bukan Sekadar Program
Urgensi Kota Tangguh adalah urgensi keadilan ekologis. Kota tangguh menuntut lima hal ini:
Pertama, audit ekologis sebagai hukum kota, bukan lampiran AMDAL yang mudah dinegosiasikan.

Kedua, engendalian alih fungsi lahan dengan prinsip kehati-hatian ekstrem. Ketiga, perumahan rakyat yang adaptif, layak, terjangkau, sehat lingkungan yang bukan mendorong MBR ke zona rawan bencana. Keempat, transportasi publik dan tata ruang terpadu agar kota tidak terus menggerogoti ruang hijau. Dan kelima, partisipasi warga sebagai subjek, bukan korban pembangunan.

Tanpa itu, transformasi kota hanyalah perpindahan masalah dari satu titik ke titik lain.

Majelis Pembaca. Kota yang hidup, adalah kota yang sejoli dengan keberlanjutan alam. Jika kota benar-benar bernyawa, maka kota akan menolak dipaksa tumbuh dengan cara pandir bunuh diri ekologis.

Transformasi wajah kota tidak salah. Yang keliru adalah bila transformasi itu tidak disertai keberanian menghentikan kejahatan ekologis yang selama ini disamarkan sebagai pembangunan.

Pada akhirnya, alam tidak pernah bernegosiasi. Namun hanya mencatat dan bertahan, yang jika melewati batas ambang bersiaplah keluar sebagai bahaya.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita membangun Kota Tangguh atau sedang menyiapkan kota untuk dihukum oleh pilihannya sendiri? Tabik.

Berita Terkait

Ekonomi

Saham Sebagai Instrumen Investasi, Seperti Apa?

Dalam dunia investasi, saham merupakan salah satu instrumen yang...

Bunga Bank Sudah Turun, Tapi Kredit Tetap Lesu, Paling Payah Kredit UMKM

Bunga kredit dan simpanan masyarakat di perbankan terus menurun...

Transaksi Program Belanja Nasional Ditargetkan Rp110 Triliun

Pemerintah menargetkan transaksi belanja masyarakat melalui berbagai program belanja...

Genjot Konsumsi, Pemerintah Juga Dorong Work from Mall

Pemerintah berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi...

Berita Terkini