Penyaluran Paylater Terus Melesat, Pembiayaan Bermasalahnya Juga Meningkat

Buy now pay later (BNPL) adalah layanan keuangan yang memungkinkan pengguna membeli barang dan jasa tanpa harus langsung melunasinya, melainkan ditalangi dulu oleh penyelenggara paylater. Selanjutnya pengguna mencicil pembayaran ke penyelenggara paylater selama jangka waktu yang disepakati disertai bunga.
Penyelenggara paylater bisa perbankan, bisa juga perusahaan pembiayaan. Sejak kemunculannya beberapa tahun lalu, penyaluran kredit paylater terus meningkat pesat termasuk jumlah penggunanya kendati secara persentase dari total kredit/pembiayaan porsinya masih sangat kecil. Konsumen menyukai paylater karena kemudahan aksesnya.
Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dipublikasikan, Selasa (4/3/2025) mengungkapkan, berdasarkan data riwayat debitur di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan pada Januari 2025 melesat 41,9 persen secara tahunan (yoy) dibanding Desember 2024 sebesar 37,6 persen (yoy), menjadi Rp7,12 triliun.
Dari nilai pembiayaan itu, porsi pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) gross tercatat 3,37 persen, meningkat cukup tinggi secara tahunan dibanding NPF Desember 2024 yang tercatat 2,99 persen.
Sedangkan porsi kredit BNPL di perbankan tercatat sebesar 0,29 persen, dengan terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi secara tahunan (yoy).
Per Januari 2025 baki debet kredit BNPL di perbankan sebagaimana dilaporkan dalam SLIK, melonjak 46,45 persen (yoy) dibanding Desember 2024 yang tercatat 43,76 persen (yoy) menjadi Rp22,57 triliun, dengan jumlah rekening mencapai 24,44 juta dibanding Desember 2024 sebesar 23,99 juta.
Baca juga: Aturan Baru OJK: Debitur Paylater Harus Punya Penghasilan Minimal Rp3 Juta
Sementara penyaluran pinjaman daring atau pinjaman online (pindar/pinjol) di industri fintech peer to peer (P2P) lending, pada Januari 2025 juga tumbuh tinggi sebesar 29,94 persen (yoy) dibanding Desember 2024 sebesar 29,14 persen (yoy), dengan nominal sebesar Rp78,50 triliun.
Berbeda dengan paylater, tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dari penyaluran pindar pada Januari 2025 menurun ke level 2,52 persen, dibanding Desember 2024 sebesar 2,60 persen.
OJK mencatat, saat ini terdapat 4 dari 146 perusahaan pembiayaan yang belum memenuhi ketentuan kewajiban ekuitas minimum Rp100 miliar, dan 11 dari 97 penyelenggara P2P lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimum Rp7,5 miliar.
Dari 11 penyelenggara P2P lending tersebut, 5 penyelenggara sedang dalam proses analisis atas permohonan peningkatan modal disetor.
OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud oleh penyelenggara P2P lending, berupa injeksi modal dari pemegang saham, atau dari strategic investor lokal/asing yang kredibel, atau pengembalian izin usaha bila tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut.