HousingEstate, Jakarta - Han Awal (82) adalah generasi awal arsitek Indonesia bersama Soejoedi, Bianpoen, Pamoentjak, dan lain-lain. Selain aktif mendorong pendirian Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) 53 tahun lalu, ia juga arsitek senior pertama yang mengakomodasi pertemuan berkala kelompok Arsitek Muda Indonesia (AMI), forum informal bentukan sejumlah arsitek muda dari berbagai universitas yang gerah dengan kebekuan dunia arsitektur di Indonesia di penghujung tahun 1980-an.

Hanya, kalau karya para arsitek AMI mewarnai jagat arsitektur Indonesia saat ini termasuk di proyek real estate untuk kaum menengah atas, keahlian alumni jurusan arsitektur dari sebuah universitas di Jerman ini hampir tidak pernah dilirik developer. “Ada yang minta desain saya, tapi tidak diterapkan. Mungkin dianggap tidak menjual,” kata pendiri PT Han Awal & Partners Architect yang hingga kini masih aktif berkarya itu.

Walhasil, dulu ia lebih banyak mendesain bangunan publik seperti gedung DPR/MPR (diajak Soejoedi), kampus Universitas Katolik Atma Jaya dan sekolah Pangudi Luhur, sekarang memugar bangunan lama (konservasi) seperti Katedral Jakarta, gedung Arsip Nasional bersama Budi Lim dan Cor Passchier (Belanda), gedung Bank Indonesia (BI), Gereja Immanuel (semuanya di Jakarta), dan lain-lain. Beberapa karya itu mendapat penghargaan nasional dan internasional.

Bagaimana pendiri Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) yang juga ayah salah satu pentolan AMI Gregorius “Yori” Antar, ini memandang dunia arsitektur Indonesia dewasa ini? Berikut perbincangan Yoenazh K Azhar, Hadi Prasojo, dan fotografer Susilo Waluyo dari HousingEstate dengan penulis buku “Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial” itu di kantornya di Bintaro Jaya, Pondok Aren-Tangerang Selatan (Banten), akhir Desember 2011.

Kenapa lebih banyak menangani proyek konservasi?

Sejak 25–30 tahun lalu saya memang fokus di konservasi. Proyek baru sudah banyak (digarap) rekan-rekan arsitek muda, saya perlu mencari pasaran baru. Jadi, dibilang idealis tidak juga. Selain itu saya anggap pelestarian itu perlu supaya masyarakat punya memori (tentang arsitektur masa lalu) sebagai pijakan perkembangan (arsitektur) ke depan. Proyek baru ada juga, tapi kecil-kecilan, tidak mau yang menyala-nyala, seperti sekolah Pangudi Luhur itu. Saya merasa sangat tersanjung setelah beberapa puluh tahun dipanggil lagi mendesain perluasannya. Proyek baru lain sekolah Pangudi Luhur di Kota Deltamas, Cikarang-Bekasi (Jawa Barat).

Bagaimana konsep desain Anda terhadap bangunan sekolah itu?

Saya mencoba mengakomodasi tujuan sekolah, yaitu pendidikan selain pengajaran, dengan memberikan suasana untuk mengadakan berbagai kegiatan ekskul (ekstra kurikuler) yang perkembangannya luar biasa dan beberapa puluh tahun lalu tidak terbayang oleh saya. Sementara untuk universitas rancangannya lebih kompleks. Mahasiswa itu setelah tamat akan berprofesi di masyarakat. Jadi, (selain ruang kuliah dan lain-lain) bagaimana di kampus kita bisa memberikan ruang dimana mereka bisa berkumpul, berdiskusi, untuk memperluas wawasan, membangun rasa kebangsaan, dan menumbuhkan pengertian bahwa kita ini multikultur. Karena itu konsepnya di lantai paling bawah tidak ada pengajaran, sepenuhnya untuk interaksi mahasiswa. Tapi, entah karena kekurangan biaya atau karena saya dianggap terlalu ideal, (di Atma Jaya) konsep itu diobrak-abrik, tidak terlaksana. Sekarang saya dipanggil lagi untuk konservasi kampus itu. Ini memberi semangat baru. Bahwa nanti diobrak-abrik lagi, soal kedua deh.

Apa sih kelebihan bangunan lama dari sisi arsitektur?

Ada kearifan lokal (local genius) pada bangunan itu yang bisa jadi bahan pembelajaran. Konservasi bangunan kan harus memikirkan sejarahnya, bagaimana dulu mereka membangun, apa kesulitan-kesulitannya, dan lain-lain. Jadi, kita harus buka-buka data sampai ke Belanda, kita seolah berdialog dengan bangunannya, kita juga jadi menghargai keterampilan tukang. Tukang-tukang kita itu hebat sekali. Kayak gedung BI. Kita musti mengganti glass block sebagai elemen penerangan. Itu dibuat tahun 1930-an. Setengah mati kontraktornya cari penggantinya, tidak ada lagi. Akhirnya cari akal, kenapa tidak cari ke tukang kaca? Kita datangi pengrajin kaca di Tangerang, kita kasih contoh, dicetak, dicoba, hasilnya bagus sekali. Potensi keterampilan tukang-tukang kita luar biasa. Hanya selama ini mereka kurang diangkat.

Selain itu desain bangunan lama sangat cocok dengan iklim dan lingkungan kita. Dindingnya menggunakan bata merah dan berfungsi sebagai konstruksi pemikul atap. Tanpa penulangan dan penguatan, tapi tebal, dan ruang-ruangnya memiliki dinding-dinding perantara yang juga tebal. Karena dindingnya tebal, kuat memikul atap, tidak roboh digoyang gempa. Konsepnya meniru bangunan tradisional, anyaman batanya saling mengikat sehingga begitu kuat dan fleksibel menahan gempa. Dinding tebal itu juga berfungsi isolasi, menahan panas dari luar. Jadi, kalau sekarang isolasi panas pakai double wall, pakai kaca film, dan lain-lain, dulu hanya tembok tebel. Saya tidak tahu kenapa sekarang tidak banyak yang mencoba mengikuti warisan itu. Apa karena kesulitan (teknis), apa karena materialnya susah?

Terlalu mahal kalau konsep desain itu diikuti zaman sekarang

Diikuti sih tidak. Kita ambil local wisdomnya yang bisa kita pakai di perkembangan kemudian. Dan, itu sudah dirintis arsitek Belanda Thomas Karsten, juga diterapkan Romo Mangunwijaya. Local wisdom kan tidak hanya pusaka Nusantara tapi juga yang kita dapat pada zaman kolonial. Bukan karena kita mau mengembalikan era kolonial, tapi karena kebetulan itu kita warisi.

Dari semua karya Anda mana yang hasilnya paling memuaskan?

Tidak ada, karena saya tidak pernah puas. Setiap proyek itu unik. Masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya.

Bagaimana Anda memandang karya para arsitek tahun 90-an ke atas?

Dibanding karya-karya dulu yang memperhitungkan iklim, kadang-kadang yang sekarang ini kurang. Semuanya sejak awal dirancang pakai AC. Sama kayak mobil, sekarang nggak ada jendelanya yang terbuka karena pakai AC semua. Mungkin zamannya sudah lain, iklim kita sudah naik, jadi harus pakai AC. Dulu kita sudah memikirkan (kesesuaian bangunan dengan lingkungan)-nya dengan membuat ventilasi, dengan pepohonan, memperhitungkan arah angin, dan lain-lain. Bangunan Belanda memakai sistem selasar dengan banyak pilar sehingga jendela tidak langsung di luar untuk meneduhkan ruang dalam. Hanya, kalau sekarang dibuat seperti itu pasti mahal. Esensinya saja, memperhitungkan kondisi lingkungan tapi disesuaikan dengan zaman.

Oh ya, kenapa dulu Anda mengakomodasi AMI?

Mereka teman-teman yang baru mau mulai kerja, ada yang sudah ikut biro-biro yang jumlahnya masih sedikit sekali. Saya mengakomodasi mereka karena saya ingin kita punya lebih banyak kompetensi sehingga kita bisa berpacu, walaupun karya saya dikritik sama mereka. Saya mendidik mereka (di universitas) juga begitu, (karena saya lihat) para mahasiswa di Jerman dan Belanda memampang karyanya dan saling kritik. Ini saya terapkan juga waktu mengajar, tapi saya justru dapat kritik banyak dari sesama dosen. Alasannya, kita kulturnya lain, kita belum sampai di situ.

Semula Han Awal sangat berminat dengan bidang Fisika. Setamat SMA ia bercita-cita meneruskan kuliah ke Jurusan Fisika. “Tapi, guru Fisika saya waktu itu, orang Belanda, ogahogahan, malesnya bukan main. Saya tidak begitu suka,” katanya. Akhirnya pilihannya berubah ke antropologi dan kemudian arsitektur. Ia tertarik dengan arsitektur karena ingat engkongnya yang berprofesi sebagai arsitek aanemer (pemborong) pada zaman Belanda.

“Eyang saya itu artis yang membuat lukisan untuk latar belakang sandiwara (tonil). Waktu kecil saya sering diajak ke pasar malam di Malang. Pasar malam itu dia yang desain. Di situ dia sedikit banyak mengenalkan saya (pada gambar arsitektur),” kata pria yang sejak tahun 1965 mengajar arsitektur di sejumlah universitas negeri dan swasta di pulau Jawa itu. Hanya, di ITB waktu itu belum ada jurusan arsitektur. Jurusan itu hanya ada di Eropa.

Kebetulan Keuskupan Malang berkenan memberikan beasiswa. Maka setamat SMA tahun 1950 berangkatlah Han ke Technische Hoogeschool di Delft, Belanda. Di universitas ini ia bertemu mahasiswa Indonesia lain seperti Bianpoen, Soewondo, Pamoentjak, dan Soejoedi. Namun, menyusul ketegangan Indonesia– Belanda karena persoalan Irian Jaya (sekarang Papua), tahun 1956 ia pindah kuliah Technische Universitat di Berlin Barat, Jerman Barat (sekarang Jerman).

Apa perbedaan kuliah arsitektur di Belanda dan Jerman?

Di Belanda karena negara kecil, pelit dengan tanah, pelit dengan bahan, pelit biaya. Jadi, kita diajar bagaimana memanfaatkan setiap sentimeter persegi ruang dan material. Sementara di Jerman lebih lega, lebih leluasa. Kita belajar tentang konsep-konsep besar arsitektur. Tapi, baik di Belanda maupun Jerman atau Eropa secara umum, yang berkembang arsitektur modern yang memanfaatkan material industri seperti beton, baja, dan kaca. Berkembang juga pengertian-pengertian sosial dalam arsitektur sehubungan dengan dampak revolusi industri. Penduduk bertambah, tanah makin terbatas, tuntutan keadilan dan pemerataan, dan seterusnya. Dunia arsitektur mencoba memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan itu melalui mass production (produksi rumah massal) dengan unit-unit hunian yang lebih kecil. Dari situlah muncul estate housing.

Setelah pulang ke Indonesia tahun 1960 apa yang Anda lakukan?

Saya lapor ke Uskup Malang. Saya mungkin bisa jadi guru matematika atau apa di SMA. Tapi, setelah Uskup lihat record saya, berfikir sebentar, dia katakan, kamu kembali ke Jakarta, kerjakan profesi kamu saja, di sini tidak ada tempat untuk guru itu. Jadi, saya dilepas gitu saja. Di Jakarta saya kerja di Biro Estetika milik Sunaryo Sosro yang memandu saya ke dunia arsitektur di sini. Untuk itu saya berterima kasih sekali. Tahun 70-an saya mendirikan PT Han Awal bersama Pamoentjak. Sekarang Yori (Antar) jadi presdirnya, saya komisaris. Cuma saya tetap inget pada karya-karya keuskupan: gereja, sekolah, rumah sakit. Saya tarik (kesimpulan) saya berkarya untuk umum, sekolah atau apapun yang serupa itu. Jadi, rumah tinggal hampir tidak ada. Yang di real estate tidak pernah dibangun. Rasanya tidak ada real estate yang menganggep (desain) saya akan laku walaupun ada yang minta merancangnya. Saya juga kenal baik beberapa pengembang besar terkenal, tapi mereka tidak pernah minta rancangan saya. Mungkin tidak cocok atau desain saya tidak menjual.

Menurut Anda bagaimana seharusnya desain rumah?

Yang digarap pertama itu seharusnya dapur, kamar mandi dan WC, karena paling mahal, banyak instalasi, banyak bahan yang harus tahan air, dan lain-lain. Jadi, bagaimana membuatnya paling efisien, baik bahan, peletakan, maupun instalasinya. Dalam hal ini saya tertarik dengan Singapore Finish. Yang diolah secara khusus hanya kamar mandi, WC, dan dapur yang dikaitkan satu sama lain sehingga bisa satu dinding. Ruang lain hanya berupa ruang besar. Terserah penghuni membuat sekat-sekatnya sesuai kebutuhan dan kultur masing-masing. Ada yang senang ruang duduknya besar, ada yang senang kamar tidurnya besar. Di sini sebetulnya tantangan real estate itu, karena kalau desain rumah di Jakarta ditempatkan di NTT yang kulturnya lain, mungkin akan jadi masalah. Karena itu dalam kuliah saya di UI saya tekankan supaya membuat denah layout bervariasi, tapi toilet dan dapur perlu efisien. Untuk rumah pesanan (perorangan) ruang-ruangnya sejak awal sudah disekat tidak apa. Tapi, untuk rumah massal konsep itu perlu dipikirkan lagi. Apalagi, Jakarta penduduknya dari berbagai latar belakang. Seringkali dipaksakan menerima satu desain tertentu. Lama-lama mungkin bisa cocok, tapi meninggalkan banyak hal (dari kultur masing-masing). Kita pendekatannya lebih ke kalangan menengah atas. Golongan ini cenderung manja. Inginnya tau jadi tanpa menyadari diatur cara hidupnya (melalui desain ruang yang seragam). Yang namanya bagus dan nyaman itu berbeda- beda definisinya menurut gaya hidup setiap orang. Eksperimen Romo Mangun dengan rumah penduduk di Kali Code (Yogyakarta) menyampaikan pesan itu. Boleh saja menawarkan hunian yang bagus tapi tetap dalam kultur masing-masing. Bagaimana penghargaan masyarakat terhadap profesi arsitek sekarang ? Lebih baik. Sekarang masyarakat lebih mengerti arsitektur, karena majalah yang membahas soal arsitektur makin berkecamuk. Masyarakat makin memahami pentingnya jasa arsitek dan merasakan manfaatnya terhadap kenyamanan hunian mereka. Dulu kita juga dihargai, tapi lebih sebagai tukang gambar. Semua kemauan klien harus diikutin.

Bukannya memang harus begitu karena saya sudah bayar?

Sah-sah saja bapak minta ini itu, tapi kita sebagai arsitek juga musti punya komitmen terhadap masa depan. Misalnya, baru beberapa tahun rumahnya sudah dibongkar, sudah model baru lagi. Berarti ada yang salah dalam desain kita, mungkin banyak bocornya, besar biaya perawatannya, dan lain-lain. Jadi, kita perlu berdialog dengan klien karena kultur orang beda-beda. Dengan berdialog kita menciptakan sinergi. Visi saya sebagai arsitek masuk, kepentingan pemberi tugas juga dihargai penuh.

Ilmu arsitektur terkesan elitis, hanya melayani kalangan atas

Kesannya memang demikian karena hubungannya dengan yang membayar. Arsitek bagaimanapun harus bisa hidup. Sekarang tinggal bagaimana cara hidupnya. Ada yang ingin menyatu dengan golongan yang lemah, seperti arsitek-arsitek titisan Romo Mangun itu. Inti pemikiran Romo Mangun bagaimana arsitektur berperan mengangkat harkat manusia. Fokusnya manusianya, baru bangunannya. Untuk meresapkan hal itu dia ikut tinggal di Kali Code. Concern terhadap aspek sosial budaya ini perlu terus ditingkatkan (supaya arsitektur tidak terkesan elitis).

Atau jangan-jangan arsitektur memang ditakdirkan elitis?

Tidak. Itu ilmu untuk semua orang. (Rumah masih berupa) goa pun sudah terhitung arsitektur. Pokoknya dimana manusia menciptakan atau menghuni ruang untuk bisa hidup. Bahwa ilmu itu sekarang terkesan hanya menjangkau mereka yang bisa bayar, karena makin ke sini perguruan tingginya hanya bisa diakses golongan berada. Karena itu pemikirannya lebih banyak ke situ (melayani kaum menengah atas) untuk mengembalikan modal. Tapi, menurut saya selama mereka ada komitmen terhadap budaya, dengan sendirinya tidak akan elitis. Kuncinya di situ. Kita musti sadar budaya dan dengan sendirinya jadi sadar sosial. Untuk itu IAI dan pemerintah bisa memberi lebih banyak reward. Kayak gerakan AMI mengecat kampung itu perlu terus didorong tanpa melupakan sisi bisnis supaya biro arsiteknya tetap hidup. Seimbang.

Tapi, biro arsitek menolak kalau diminta merancang rumah tipe 36 atau 45?

Memang ada luas minimum, tapi saya merasa itu tidak boleh seyogyanya. Arsitek harus menerima order dari siapa saja. Justru tipe 36 itu tantangan yang paling besar. Tidak sulit merancang rumah 200 m2, tapi tipe 36 dengan cara yang benar, dengan latar belakang cara hidup orang dalam rumah sebesar itu, sangat sulit.

Jadi, kalau saya datang minta dirancangkan rumah tipe 36 Anda tidak akan menolak?

Oh iya (tidak). Pasti saya akan merasa tertantang. Itu kan ada peraturannya, saya mengikuti saja. Bahkan, untuk masjid, gereja, kita musti prodeo untuk Tuhan, hanya ongkos operasional.

Terkait sadar sosial itu bagaimana Anda melihat konsep klaster dalam pengembangan real estate?

Saya tidak begitu kagum. Dari segi keamanan oke-oke saja, karena soal keamanan di kota-kota besar mungkin bermasalah. Jadi, saya bisa mengerti tapi saya tidak suka, gitu saja. Saya tidak ingin menyombongkan diri, tapi rumah saya di Kemang pakai pagar hijau, kadang-kadang sudah rusak saya diamkan saja, karena saya ingin berkomunikasi dengan ruang luar. Kalau ada anak-anak yang main oke-oke saja. Ada pohon rambutan, saya bilang yang di dalam (halaman) kita yang punya, yang di luar kalian yang punya. Kita selesaikan seperti itu. Yang penting komunikasi. Bahwa ada resiko dengan sikap itu, ya sudah kita ambil.

Dalam merancang Anda memprioritaskan apa?

Denah layout-nya. Bentuk kadang-kadang mempengaruhi, tapi kenyamanan ruang dalam dulu deh. Fasad nomor dua tapi tetap mengikuti zaman dimana saya juga terpengaruh. Esensi arsitektur itu kan ruang, pengaturan ruang. Bentuk dengan sendirinya mengikuti. Kalau bisa jadi cantik, ya okelah.

Kalau diminta developer merancang rumah real estate?

Tidak ada masalah, tapi tidak ada yang datang. Mungkin khawatir nanti perbandingan taman dengan bangunannya boros, ada jalur untuk pejalan kaki. Developernya rugi. Jalur pejalan kaki itu menurut saya penting. Dulu ada trotoar, sekarang kok hilang semua. Kalau ada trotoar mau tak mau dikasih pohon.