HousingEstate, Jakarta - Joko Suranto, Ketua DPD Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Provinsi Jawa Barat periode 2017-2020, adalah salah satu calon Ketua Umum pengurus pusat (DPP) REI periode 2019-2022. Dengan pengalaman yang mumpuni sebagai pengusaha properti, di organisasi, maupun bidang sosial, ia siap memimpin perhimpunan developer properti terbesar di Indonesia itu.

Di bidang organisasi, alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, ini sudah aktif sejak di bangku kuliah. Setelah lulus pun tetap aktif, bahkan sekarang ia menduduki kursi Ketua Yayasan Alumni UNS. “Sebagian anggotanya para direksi BUMN Karya,” katanya. Sementara di REI sebelum menjadi Ketua pengurus daerah (DPD) REI Jawa Barat, ia menjadi Sekretaris di organisasi yang sama.

Di bidang sosial Joko melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) RJD membina 300 pondok pesantren di Priangan Timur (Jawa Barat). Masing-masing pondok pesantren diberikan pelatihan-pelatihan, lalu dibantu pengurusan legalitas pendiriannya agar secara hukum keberadaannya syah. Tujuannya supaya semua pondok pesantren memiliki akses mendapatkan bantuan pemerintah atau pihak swasta di dalam dan luar negeri.

“Kami setiap tahun juga mencetak 5.000 Al Qur’an untuk dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan,” katanya. Di luar itu Joko juga rutin memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Awalnya sehari Rp1 juta, tapi sekarang sudah meningkat menjadi Rp3 juta. Kemudian melalui LSM BBC (Buah Batu Club) ia bersama anggota yang lain membina tiga koperasi di Bandung untuk membantu masyarakat agar terlepas dari jerat rentenir.

Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh pria asal Solo, Jawa Tengah, ini merupakan upayanya untuk menyeimbangkan hidup, keberadaannya bermanfaat bagi orang lain, dan salah satu bentuk rasa terima kasihnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa atas kuasa-Nya telah mengaruniakan kesuksesan bagi bisnis-bisnisnya. Di bawah bendera Buana Kassiti kini ada sembilan perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan perumahan, Hotel Fave Garut, Tebing View Resort Lebang (Bandung), pabrik genteng Buana Roof Tile di Tasikmalaya, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Buana Kassiti di Purbalingga (Jawa Tengah).

Bisnis Joko paling moncer di pengembangan perumahan. Sejak 2009 hingga sekarang sudah 17 proyek yang di-develop-nya di 11 kota: Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Subang, Kuningan, Cirebon, Banjar, Karawang, Cikampek, Cimahi, dan Bandung. Luasnya bervariasi, antara 10-35 ha. Selama 11 tahun berjalan jumlah rumah subsidi dan komersial yang telah terjual mencapai 8.220 unit. Sementara jumlah kaveling yang siap dipasarkan mencapai 5.200 bidang plus land bank 80 ha lebih.

Mantan Pegawai Bank BTN ini mewarisi darah pengusaha dari bapaknya. “Saat SMA saya sudah berdagang glugu (batang pohon kelapa),” katanya. Kemudian saat kuliah berjualan koran, sembako, mengelola parkir, dan lain-lain. Bahkan, ketika sudah bekerja di Bank BTN Kantor Cabang Bandung, ia tetap memiliki usaha sampingan, mulai dari warteg, ayam pedaging, taplak meja, celana jin, sampai jual beli henpon. “Waktu factory outlet di Bandung belum banyak, saya beli celana di Cihampelas Rp20 ribu, di kantor saya jual Rp40 ribu. Laris. Sehari bisa untung Rp200 ribu. Bandingkan dengan gaji saya sebulan (waktu itu) yang Rp1,2 juta,” katanya.

Berikut petikan wawancara Joko Yuwono dan Samsul Arifin Nasution dari HousingEstate dengan CEO Buana Kassiti itu terkait pencalonannya menjadi Ketua Umum REI 2019-2022 di kantornya di Jl Panaitan, Kota Bandung, awal September 2019.

Kenapa Anda tertarik mencalonkan diri menjadi Ketua Umum REI?

Ini alasannya lebih personal. Awalnya saya memang tidak ada niat maju, tapi karena orang yang sebelumnya saya harapkan maju ternyata tidak mau, akhirnya saya yang maju. Saya terdorong karena sebagai Ketua DPD sering menghadapi banyak pertanyaan, sering mendengar jeritan dari teman-teman. Salah satunya tentang terbatasnya kuota KPR bersubsidi sehingga baru di pertengahan tahun saja sudah habis. Kami juga mendengar keluhan dari teman-teman di perbankan, akibat KPR bersubsidi habis, banyak developer yang harus melakukan restukturisasi kreditnya. Ini sangat memprihatinkan. Saya akan memperjuangkan aspirasi-aspirasi para anggota di tingkat akar rumput seperti itu. Salah satu agenda besarnya, melobi pemerintah agar bersedia menaikkan kuota KPR bersubsidi setiap tahun dalam rangka mendukung program pengadaan satu juta rumah. Kami optimis jika pembangunan rumah bagi MBR ini lancar, insyaallah pembangunan rumah non subsidi akan lebih lancar lagi.

Apa gol Anda jika terpilih jadi Ketua Umum?

Pertama, saya berupaya industri ini keberlangsungannya terjaga, antar pelaku juga punya hubungan yang bagus, sehingga memberikan kontribusi yang positif terhadap pembangunan nasional. Kalau itu terjadi, bukan hanya pelaku properti saja yang untung, masyarakat yang butuh rumah juga untung, termasuk pemerintah pun diuntungkan karena pajak dari transaksi propertinya meningkat.

Kedua, saya akan membangun komunikasi yang intens dengan regulator dan semua stakeholder. Kalau hubungan sudah dekat kita bisa saling mengetahui, saling memberikan, dan saling menumbuhkan. Pemerintah punya target, Kementerian PUPR punya target, developer punya target, Dirjen Anggaran Depkeu pun punya target. Semua bertarget. Supaya semuanya mencapai target, maka di sini perlu dibentuk semacam koridor atau wadah untuk berkoordinasi, area untuk saling mengisi, saling memberikan solusi jika ada masalah-masalah. Perumahan itu urusannya lintas departemen, lintas sektoral, terkait Kementerian ATR/Kepala BPN, Kementerian PUPR, dan Kementerian Keuangan kalau menyangkut soal anggaran bidang perumahan.

Ketiga, saya akan mendorong adanya kolaborasi antara developer besar dan kecil. Kalau kita ikuti undang-undang tentang hunian berimbang, para developer besar yang mengembangkan proyek di kota-kota megapolitan seperti Jakarta membutuhkan developer kecil. Apalagi jika hunian berimbang itu bisa dikembangkan di lokasi lain di satu provinsi akan memantik adanya kolaborasi itu.

Terakhir, REI sebagai organisasi developer terbesar di Indonesia harus bisa menjadi motor, mendorong pemerintah membuat perencanaan dan aturan yang tepat dan mudah diimplementasikan oleh para pelaku usaha di lapangan. Caranya bisa diawali dengan melakukan serangkaian diskusi antara Kementerian PUPR, Dirjen Anggaran Depkeu, DPR, BPN, perbankan, perguruan tinggi, dan lain-lain. Tidak mudah, tapi pelan-pelan harus dijalankan. Kalau kita bisa melakukan yang kecil dan dilihat orang banyak, maka insyaallah orang akan tergerak juga. Ini bisa menjadi bola salju untuk mendorong terjadinya kesepahaman yang lebih besar.

Adakah gol Anda yang lain?

Saya akan merealisasikan ide lama membangun Menara REI. Jika terpilih, salah satu BUMN karya sudah menawarkan kepada saya untuk bekerjasama mewujudkannya. Lokasi yang ditawarkan strategis, bisa dekat tol atau stasiun LRT. Skema pembiayaan bisa bermacam-macam. Salah satunya dengan mengajak para anggota berinvestasi. Misalnya @Rp500 juta, target 1000 anggota, total terhimpun Rp500 miliar. Uang tersebut kita belikan tanah dan biaya membangunnya. Setelah jadi sebagian lantainya dijual ke para anggota atau pihak lain yang membutuhkan. Hasil penjualan kemudian kita pakai untuk mengembalikan uang anggota yang diinvestasikan tadi plus keuntungannya. Jadi kita buat legasi kepada REI sekaligus berinvestasi. Jadi hitung-hitungan ekonominya ada.

Untuk Ketua Umum REI katanya ada tradisi gilir kacang antara yang Tionghoa dan non-Tionghoa?

Tradisi atau konsesus itu sesuatu yang baik, tidak ada masalah. Hanya, kalau kita berpatokan pada ras maka sudah tereliminasi oleh UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras. Kalau tradisi itu diteruskan, REI bisa disebut intoleran. Jadi, gambarannya ke sana. Menurut saya representasinya itu kombinasi, misalnya ketua umumnya non-Tionghoa, sekretaris jendralnya Tionghoa, atau sebaliknya. Tapi, bukan saklek ketuanya harus bergiliran antar ras. Soalnya dulu pernah dua kali ketua umum itu berturut-turut non-Tionghoa semua. Dari Soekardjo Hardjosoewirjo (1977-1983) ke Siswono Yudohusodo (1983-1986). Lalu dari Edwin Kawilarang (1995-1998) ke Agusman Efendi (1998-2001). Kalau saya memandangnya begini, pada akhirnya yang dibutuhkan bukan pri dan nonpri. Pemimpin yang terbaik itu bisa memimpin, bisa memberikan kontribusi. Kalau ras-nya terwakili tapi tidak bisa berbuat sesuatu, untuk apa? Malah organisasi ini makin terpuruk. Jadi, putra terbaik Indonesialah yang mempimpin REI untuk memperjuangkan kemaslahatan pengembang dan masyarakat. Kalau isu ras itu dibawa ke munas akan berbahaya. Kita tidak pernah jadi dewasa.