Arsitektur bangunannya bergaya kolonial, interior sarat langgam tradisional.
HousingEstate, Jakarta - Tak sulit mencari rumah pengusaha kosmetik Martha Tilaar (77) yang terkenal dengan merek Sari Ayu ini. Lokasinya di Jalan Patra Kuningan Utara, Jakarta Selatan, di sebelah gedung Kedubes Inggris yang baru. “Cari aja rumah yang pintu pagarnya kayak candi,” kata seorang satpam saat ditanya rumah Martha. Dua daun pintu kayu besar lengkap dengan gapura berukir seperti di bangunan kerajaan Jawa memang tampak kokoh menandai kediamannya. Di dalamnya berdiri rumah dua lantai dengan kanopi-kanopi setengah lingkaran dan pilarpilar bulat.
“Saya ingin rumah itu kokoh dan untuk selamanya. Konsepnya kolonial Belanda tapi tetap ada unsur Indonesianya,” kata ibu empat anak dan delapan cucu itu. Ia mempercayakan rancangan rumahnya kepada Hadiprana, biro arsitek ternama di Indonesia sejak 1958 yang selalu menyematkan detail tradisional dalam karyanya. Lahan rumah seluas 1.400 m2 dibelinya 22 tahun lalu seharga Rp600 juta berdampingan dengan rumah sang adik. “Sebelumnya saya tidak menduga lokasi rumah ini akan jadi kawasan emas dan banyak gedung kedutaan,” ujar sulung dari tiga bersaudara itu. Awal tahun 1990-an Martha dan keluarga mulai pindah ke Kuningan dari rumah lamanya di Pejaten, Jakarta Selatan, yang didapat saat sang suami Prof (emeritus) H.A.R Tilaar (82) menjadi kepala biro di Bappenas tahun 1976.
Berjemur Matahari
Kini sehari-hari rumah seluas 1.000 m2 ini hanya ditinggali Martha berdua suami dan beberapa asisten rumah tangga. Keempat anaknya tinggal terpisah dengan keluarga masing-masing. Sebulan sekali atau jika ada acara ulang tahun baru seluruh anggota keluarga berkumpul di rumahnya. “Itu kesalahan saya juga karena lepas SMA langsung disekolahkan ke luar negeri, jadi terbiasa mandiri dan jauh dari orang tua,” ujarnya.
Untungnya sejak awal ia sudah merancang kamar tidur utama di lantai bawah dilengkapi kamar mandi di dalam, sehingga tidak merepotkannya beraktivitas di masa tua. Empat kamar tidur lain ada di lantai atas. Martha hanya memperbaiki ruang tengah yang menghadap ke kolam renang dengan lapisan kaca melengkung dari atas ke bawah agar sinar matahari menembus leluasa ke dalam. “Karena sudah tua jadi butuh sinar matahari langsung, kita tinggal duduk rileks sambil lihat tanaman dan dengar suara air di luar,” katanya
Martha biasa memulai hari dengan olah raga pernafasan, lalu aktivitas favorit menonton TV bersama di ruang duduk atau melakukan perawatan rambut (creambath) di teras belakang. “Rumah adalah the basic of family, jadi kita harus benar-benar menikmati rumah,” kata wanita yang masih aktif berkantor setiap hari itu.
Penyuka oseng-oseng (tumis) dan sayur asem itu mengakui dulu ia jarang di rumah karena sibuk mengurus usaha salon dan sekolah kecantikan miliknya. Setiap pulang sekolah anak-anaknya biasa menemuinya di salah satu lokasi salon untuk makan siang bersama. Martha baru pulang ke rumah ketika malam sudah larut. Kadang ia iri karena anak-anak jadi lebih dekat dengan bapaknya “Tapi kalau ngajak belanja anak-anak pasti pilih sama saya karena boleh pakai troli (belanja bisa lebih banyak, Red), dengan bapaknya cuma pakai keranjang,” kenangnya.
Tema tradisional
Sejak pulang dari Amerika awal 1970- an Martha konsisten membawa semangat Indonesia di mana pun berada. Sehari-hari ia mengenakan baju batik, termasuk mengisi interior rumahnya dengan tema lokal dan tradisional. Sejak pintu masuk hingga foyer (ruang penghubung sebelum masuk ke ruang utama di sebuah rumah, Red) terlihat ragam ukiran kayu menghiasi. Di meja foyer dijajarkan karya patung seniman FX Widayanto. Dari foyer akses bercabang dua ke arah ruang makan formal di sisi kiri atau ruang tamu di sisi kanan.
Ruang tamu diisi set sofa bergaya klasik Eropa, sedangkan aksesoris seperti lukisan dipajang dengan bingkai berukir tradisional. Lubang ventilasi di atas pintu dan jendela juga dihiasi ukiran bunga. Di samping ruang tamu terdapat toilet khusus tamu yang baru saja direnovasi dengan desain yang mewah. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer dan dihiasi ukiran serta pernak-pernik bernuansa tradisional.
Memasuki area tengah adalah ruang duduk untuk menonton TV tepat di depan kamar tidur utama itu. Di sini ditempatkan sofa-sofa kayu jati dengan ukiran tradisional Jawa. Terdapat tangga melingkar menuju lantai atas di tengah-tengah ruang yang menarik perhatian. Di depan tangga ada tempat duduk melingkar menghadap kolam renang yang berbatas kaca bening. Ia sering memanfaatkannya untuk tempat membaca buku sambil menikmati matahari pagi. Di samping tangga ditempatkan satu set meja makan bundar delapan kursi untuk ruang makan keluarga. Lokasinya bisa menyatu dengan ruang makan formal untuk para tamu jika pintu dibuka.
Tergusur di Negeri Sendiri
Sebelum sekolah dan tinggal di Amerika, Martha mengaku menganggap apapun yang berbau Barat sebagai yang terbaik. Setelah lima tahun menetap di sana barulah pola pikirnya berubah menjadi mencintai kekayaan negeri sendiri. Ia sangat sedih baru-baru ini menghadapi kenyataan gerai Martha Tilaar Shop di sebuah pusat belanja prestisius di Jakarta harus tergusur oleh sebuah merek kosmetik asal luar negeri.
Lokasi toko yang telah disewanya setahun itu diambil alih dan dipindah paksa pengelola pusat belanja karena produknya dianggap tidak sekelas dengan produk asing itu. “Kita bangsa yang hebat, bangsa yang kaya, tetapi tidak menghargai produk dalam negeri, kapan kita punya identitas kalau begini terus?” kata wanita kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, itu.
Tekad dan mimpinya sejak dulu ingin mempercantik perempuan Indonesia dengan bahan alami Indonesia. Ia merujuk pada Tanaman Obat, Kosmetik dan Aromatik (TOKA). Neneknya yang seorang herbalis membimbingnya menemui dukun beranak di desa-desa untuk mencari tahu khasiat jamu. Ia juga rajin mengunjungi keraton Solo dan Yogyakarta. “Kalau saya mementingkan untung, saya bisa impor produk dari Thailand, China, Vietnam, lalu diberi label Martha Tilaar. Tapi hati nurani saya tidak bisa begitu,” ujarnya.
Ia tak ingin disebut pebisnis karena fokusnya sejak dulu adalah pendidikan dan pengembangan kosmetika dengan riset. Selain membuka salon yang kini memiliki 60 waralaba di seluruh Indonesia, ia juga merintis Pusat Pendidikan Wanita (Puspita) Martha. Muridnya yang kini sukses di antaranya penata rias Gusnaldi, Sugi Martono, dan May May. Terakhir ia membuka pusat pelatihan terapis gratis untuk kaum wanita di beberapa desa di Indonesia. Atas kepeduliannya terhadap wanita itu tahun 2010 Martha meraih United Nations Global Compact “The Outstanding Contribution 2000 – 2010”.
Ia juga memperjuangkan ilmu pengobatan herbal bisa masuk kurikulum kampus. Setelah empat tahun UI setuju menjadikannya program studi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Ia menjadi dosen tamunya. “Dulu nggak bisa masuk UI karena IQ jongkok, sekarang sudah eyang-eyang malah jadi dosen mahasiswa S2,” katanya. Tahun ini Martha juga akan membuka pabrik keempat di Cikarang yang menjadi bagian dari kerja samanya dengan UI. Menurutnya investasi dalam riset ilmiah sangat penting dalam pengembangan produk dan itu dilakukannya sejak pertama kali mendirikan pabrik. Produk terbarunya Hijab Hair Care berupa rangkaian perawatan rambut untuk wanita berkerudung adalah hasil risetnya selama 10 tahun.
Ia tengah menjalin kerja sama riset dengan profesor bidang Ethnobotany dan Medical Anthropology di Belanda untuk inovasi produk lain. Ia percaya khasiat beragam tanaman di Indonesia banyak belum tergali dan perlu riset lebih mendalam. Sama halnya ia meyakini minum ramuan jamu alami tidak akan memberi efek samping apapun selain kesehatan. Di usianya yang mendekati 80 tahun Martha masih terlihat segar dan bugar. “Tidak mungkin saya umbar ke Ibu-ibu mengenai cantik alami, tapi saya obrasan (operasi plastik, Red),” selorohnya.
Sumber: Majalah HousingEstate
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.