HousingEstate, Jakarta - Mowilex adalah salah satu cat yang populer di pasar. Bukan karena rajin beriklan tapi lebih karena pasar makin mengakui kualitasnya: daya rekat kuat, daya sebar tinggi, tahan lama, dan pilihan warna lebih kaya. Jangan heran lukisan acrylic, poster film, dan dekorasi backdrop acara TV pun banyak memakainya.
Mowilex juga cerdas mengemas berbagai event untuk memperkuat citranya sebagai cat bermutu. Mulai dari melansir tren warna secara berkala, mensponsori lomba desain arsitektur, sampai membuat acara “home and beauty” di televisi. Yang menarik cat ini 100 persen lokal. Bukan produk Jepang atau Eropa yang selama ini mendominasi bisnis cat di negeri ini. Bagaimana Mowilex bisa menyeruak di antara cat-cat Jepang dan Eropa itu?
Mowilex didirikan Agus Sasmito pada 1970. Pria berpenampilan sederhana ini semula pemasok pakaian dan tekstil untuk PT Tambang Timah di kota kelahirannya Bangka. Karena puas dengan pelayanannya, BUMN itu lalu memintanya juga menyuplai cat kapal (marine paint). “Kalau sandar (docking) kapal-kapal keruknya harus di-reinventing,” katanya.
Ia pun menghubungi saudaranya di Jepang. Saudaranya mengontak pemasoknya di Kobe. Si pemasok merekomendasikan salah satu produsen cat di Negeri Matahari Terbit itu yang tersohor dalam marine paint. Order Tambang Timah besar sehingga bagian pembeliannya harus pindah ke Jakarta. Agus pun ikut. Produsen marine paint itu terkesan dengan order tersebut dan memintanya juga memasarkan cat tembok Vinilex.
Kecewa Nippon
Maka Agus pun beralih menjadi penjaja Vinilex, mondar-mandir Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya. Waktu itu pertengahan tahun 60-an belum ada cat tembok emulsi. Cat yang dijual di pasar masih berbentuk bubuk yang harus dimasak dulu sebelum dipakai. Jadi, dialah pedagang cat tembok emulsi sekaligus distributor Vinilex pertama di Indonesia.
Hasilnya luar biasa. Permintaan membludak. “Padahal, saya hanya impor beberapa warna dalam jumlah terbatas,” katanya. Ia memberi contoh BNI yang memakai warna abu-abu. Proyeknya besar. Baru setengah jalan cat sudah habis. Proyek terpaksa dihentikan menunggu pasokan cat baru. Begitu cat datang pembeli sudah antri menunggu. Mereka membawa uang kontan berharap mendapatkan cat-cat itu. Ia tak mau melepas.
“Saya mau servis klien saya (BNI). Saya sudah janji. Masak bangunannya ditinggal kayak gitu,” katanya. Dengan sikap seperti itu pelanggannya makin banyak dan Vinilex makin tersohor. Ia pun diundang ke Jepang. “Mereka bilang suatu hari kalau buka pabrik di Indonesia saya akan jadi partnernya,” ceritanya. Tapi, janji tinggal janji. Begitu membuka pabrik di Indonesia, produsen cat asal Jepang itu justru bermitra dengan pihak lain. Agus sangat kecewa. Ia menyebutkan, perusahaan Jepang itu menganggap perusahaan di Indonesia belum berkelas.
Dia misalnya, waktu itu baru punya semacam usaha dagang. “Jadi, kita masih dianggap anak kecil,” tukasnya. Untunglah, ia tidak larut dengan rasa kecewa itu. Sikap perusahaan besar yang ingkar janji itu justru pertanda baik bagi dirinya sesuai dengan namanya Agus Sasmito (Agus = bagus, Sasmito = pertanda). Dari situ ia terpicu mendirikan perusahaan cat sendiri yang lebih baik dari cat impor. “Cat itu bukan hitech, (sukses tidaknya) tergantung isi dan kejujuran produsennya,” katanya.
Teluk Gong
Seorang saudaranya memperkenalkannya dengan asosiasi produsen cat di Kausiung (beberapa jam naik kereta dari Taipei, ibu kota Taiwan), guna mendapatkan gambaran mengenai bisnis cat. Setelah beberapa kali bolak-balik, akhirnya berdirilah Mowilex. “Mesinnya saya datangkan dari Taiwan. Waktu itu masih bolehlah. Kalau sekarang sih udah ketinggalan,” ungkapnya.
Ia memulainya di Teluk Gong, Jakarta Utara, menumpang di pabrik sandal milik saudaranya. Produksinya masih kecil, 500 liter per hari. Pilihan warnanya juga masih sangat terbatas. Ia menjual catnya dalam kemasan kilogram. “Saya pasarkan dan angkut sendiri,” kenangnya. Beberapa tahun kemudian ia pindah ke Daan Mogot, Jakarta Barat, yang kini menjadi kantor pusat Mowilex.
Panjang jalan Agus membesarkan Mowilex. Image kadung terbentuk, yang berkualitas adalah cat Jepang atau Eropa. “Jadi, sejak awal konsumen meragukan kita,” katanya. Jangan heran saat menawarkan Mowilex, pemilik toko menanggapinya dingin. “Kita harus entertaint dulu, kasi hadiah, bantu bikin display.” Padahal, dulu saat masih memasarkan Vinilex, toko yang sama menerimanya dengan ramah, mempersilahkan duduk, dan menanyai mau minum apa.
Upayanya makin sulit karena para kontraktor dan developer juga tidak hirau dengan aplikasi cat. Terlebih saat properti booming. Rumah belum jadi saja sudah laku. Cat apa saja dipakai. Konsumen juga tidak banyak bertanya. Ia pun harus bekerja makin keras untuk meyakinkan pasar. “Yang susah itu ngajak pindah yang sudah pakai merek lain. Tapi, sekali pakai Mowilex akan terus pakai Mowilex,” katanya.
Mowilex menggelar serangkaian presentasi sampai membuatkan mock up untuk menunjukkan kualitasnya. Di situ diberikan pengetahuan tentang aplikasi cat yang benar. Misalnya, tembok harus di-treatment dulu. Adonan semen dan pasirnya harus pas, pasir dan airnya bersih, acian rata dan halus, tak ada retak rambut, dinding mesti kering dan bersih saat dicat, dan pengecatan dimulai dengan cat dasar.
“Kalau tidak, cat bagus pun hasilnya tak akan maksimal. Catnya jadi ikut rusak,” katanya. Tembok juga tak perlu didempul karena dempul tidak “sedaging” dengan dinding. Kalau dempul lepas cat pun mengelupas. “Kami yang pertama bilang tak perlu pakai dempul. Kini semua mengikuti terutama untuk dinding luar,” ujarnya.
Kemasan liter
Pria lulusan SMP ini juga tak henti belajar. Ia memanfaatkan betul kesempatan dari seorang pengusaha Jerman untuk melihat-lihat pabrik catnya di Inggris. Ia juga melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk menambah wawasan soal cat. Dari situ ia tahu kualitas cat ditentukan oleh covering (daya tutup) bukan harganya.
“Biarpun murah kalau covering-nya hanya lima meter, umurnya sebentar terus mesti ngecat lagi, jatuhnya justru lebih mahal,” jelasnya. Cat bermutu juga memakai kemasan liter bukan kilogram. (Lihat “Kisah Sirip Ikan Hiu”.) Karena itu pada 1985 ia mengubah kemasan Mowilex dari kilogram menjadi liter. Terbalik dengan produsen lain yang semula liter kemudian diubah menjadi kilogram.
Sejak itu Mowilex mulai leading di pasar. Apalagi, pilihan warna, jenis dan grade-nya lebih beragam. Mulai dari yang premium (Mowilex) sampai grade dua (Cendana). Mulai dari warna-warna berani sampai lembut. “Soal warna kita juga pelopor,” ujarnya. Jalan Mowilex makin lempang setelah krisis. Konsumen makin kritis dan mulai mempertanyakan cat rumah yang dibelinya.
“Kalau berantakan mereka nggak mau,” tukas Agus. Sejak tiga tahun terakhir Mowilex pun rajin tampil menyeponsori berbagai event. Menurutnya kalau basis pasar belum kuat, reklame hanya membuang-buang uang. Sebaliknya bila sudah kuat beriklan efektif untuk menancapkan image.
“Cat kalau sudah terpasang nggak ketahuan mereknya. Yang ada hanya image. Beda dengan arloji atau mobil yang ada mereknya, kalau beriklan omzetnya langsung naik,” paparnya. Kini penyebaran Mowilex sudah merata di seluruh Jawa, Lampung, Medan, Pekanbaru, Padang, Bangka, Makassar, dan Manado.
Produksinya pun terus meningkat karena potensi pasar cat tembok premium memang masih kecil, baru 10 persen dari total pasar cat tembok di Indonesia. Mowilex boleh berbangga menjadi cat dekoratif lokal pertama yang mampu menyaingi merek asing. Yoenazh K Azhar, Hadi Prasojo
Kisah Sirip Ikan Hiu
Bahan baku cat tembok terdiri dari bahan utama dan bahan pengisi. Bahan utama adalah latex sintetis (acrylic) sebagai perekat dan pigmen sebagai pewarna. Sedangkan bahan pengisi adalah kaolin, kapur, dan bahan aditif lain sebagai pelarut. Kualitas bahan utama dan bahan pengisi itu tergantung grade cat. Cat premium memakai acrylic murni, cat grade dua menggunakan acrylic kelas dua (veova).
Tapi, dalam grade apapun cat yang baik adalah cat yang mengandung banyak bahan utama dan sedikit bahan pengisi. Sedangkan cat murah adalah cat dengan banyak bahan pengisi dan sedikit bahan utama. Berat jenis (BD) bahan utama rendah dan harganya mahal. BD bahan pengisi tinggi sehingga cocok untuk pemberat dan harganya murah.
Karena itu cat berkualitas memakai kemasan liter dan harganya mahal. “Standar internasional cat itu mengacu pada volume (liter) bukan berat (kilogram).” Sementara cat murah menggunakan kemasan kilogram dan harganya murah. Bila 1 peil cat berkualitas = 20 liter, 1 peil cat dalam kemasan kilogram = 25 kg. Di sini konsumen sering terkecoh.
Karena merasa lebih banyak dan harganya murah mereka memilih cat kiloan. Padahal kalau dikonversi ke satuan liter, 25 kilogram ekivalen dengan 16,5 liter saja. Jangan heran aplikasinya harus berulang-ulang, daya tahan dan daya sebar rendah (rata-rata hanya 60 m2 per 25 kg). “Tiga empat kali cat belum nutup-nutup. Dasar dinding masih membayang atau ada bekas putih saat diusap,” ujar Agus.
Sebaliknya cat literan, aplikasinya ringan, warna lebih cemerlang, tahan lama, dan daya tutup lebih tinggi (rata-rata 100 m2 per 20 liter). “Satu dua kali cat udah nutup,” kata Agus. Ia mengibaratkannya dengan sop sirip ikan hiu. Sop mahal sirip ikannya banyak togenya sedikit. Sop murah sirip ikannya sedikit togenya banyak. Konsumen cenderung memilih yang murah.
“Padahal, sirip ikannya sedikit ketutup sama toge di atasnya. Akibatnya setelah makan tidak puas,” katanya. Ia menyatakan, cat A dalam kemasan liter seharga Rp800 ribu/peil (20 liter), daya sebar 100 m2, dan daya tahan tiga tahun, jauh lebih ekonomis ketimbang cat B dalam kemasan kilo seharga Rp300 ribu/peil (25 kg), daya sebar 60 m2, dan daya tahan satu tahun.
Soalnya dengan 20 liter cat A kita cukup keluar Rp8.000/m2 (Rp800.000 : 100 m2), plus ongkos tukang dan peralatan katakanlah Rp4.000/m2, menjadi Rp12.000/m2 selama tiga tahun. Sebaliknya dengan 25 kg cat B, biayanya Rp5.000/m2 (Rp300.000 : 60 m2), ditambah biaya tukang + peralatan Rp4.000/m2, menjadi Rp9.000/m2. Karena daya tahan hanya satu tahun, untuk tiga tahun Anda harus keluar Rp27.000/m2 (3 x Rp9.000/m2).
Sumber: Majalah HousingEstate
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.