HousingEstate, Jakarta - Saat ini Arwana boleh disebut sebagai produk keramik yang paling berkembang di antara sekian industri keramik lantai dan dinding di Indonesia. Hanya tujuh tahun sejak mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI), Juli 2001, pabriknya sudah berkembang menjadi enam, tersebar di Pasar Kemis-Tangerang dan Cikande-Serang (keduanya di Banten) serta Gresik (Jawa Timur), dengan kapasitas produksi hampir 90.000 m2/hari atau sekitar 32 juta m2/tahun.

Penjualannya juga terus meningkat. Tahun lalu sekitar Rp500 miliar, tahun ini hampir Rp700 miliar. Sejak go public Arwana sudah lima kali membagikan dividen tunai dan satu kali dividen saham. Saat saham berbagai perusahaan di bursa berguguran didera krisis global, saham Arwana tetap bertahan di atas harga perdana kendati juga menurun.

Arwana berawal dari sebuah pabrik moulding kayu yang macet di Tangerang yang diakuisisi awal 1993. “Itulah cikal bakal pabrik pertama (plant I) Arwana. Waktu itu produksinya baru 8.000 m2 per hari,” kata Tandean Rustandy, Presiden Direktur PT Arwana Citramulia Tbk. Setelah itu pada tahun 1997 menyusul berproduksi plant II di Serang, dan plant III di Gresik tahun 2001. Ketiga pabrik itu diperluas menjadi plant B dan C sehingga menjadi enam unit.

Bukan siapa-siapa

Saat ini Tandean menjadi satu-satunya founder yang masih berpegang teguh pada visi awal didirikannya Arwana. Pendiri lain telah menjual sahamnya bersamaan dengan pelepasan saham perdana dan beralih ke investasi lain yang mempunyai prospek lebih bagus daripada industri keramik pada waktu itu. “Saya orang awam di bidang keramik, dan partner yang merupakan teman saya itu yang mengajak saya masuk ke industri ini,” ujarnya.

Kiprah Tandean memang sangat mewarnai keberhasilan Arwana. Dia berasal dari keluarga sederhana. Ia juga tidak punya modal besar, tapi hanya tekad dan motivasi yang tulus, didukung kemampuan managerial, pengetahuan, integritas, dan disiplin kerja yang tinggi yang membuatnya bertahan melewati berbagai gelombang. “Saya bukan siapa-siapa. Dulu, kalau bukan siapa-siapa, mana bisa berhasil,” katanya.

Kondisi itu membuatnya semakin termotivasi untuk membuktikan, bahwa ia mampu membesarkan Arwana dengan prinsip pantang menyerah. ”Kita harus mampu menjaga diri sendiri. Jangan sedikit-sedikit menyerah, terus minta bantuan dan keringanan kepada pihak lain. Jangan mengandalkan kekuatan manusia yang bersifat sementara,” katanya.

Secara tidak langsung ia bersyukur saat terjadi krisis ekonomi 1998. Waktu itu banyak perusahaan besar yang rontok, sementara Arwana tetap melaju. Dampaknya, sekarang orang lebih memandang pebisnis dari kinerjanya, bukan dari latar belakang keluarga, dukungan dan lobinya. Terbukti, saat go public para investor memburu saham-sahamnya. Hanya tiga tahun setelah itu saham Arwana sudah tercatat di papan utama BEI. Bahkan, pertengahan Maret 2008 Wakil Presiden M Jusuf Kalla berkenan meresmikan perluasan plant II C Arwana di Serang.

Mandiri sejak kecil

Tandean sendiri sejak kecil sudah terlatih mandiri. Karena berasal dari keluarga sederhana, ia bertekad bisa sekolah setinggi mungkin. Di SD dia sudah mulai mencari uang untuk jajan. Lulus SD langsung merantau ke Singapura menumpang di rumah salah satu kerabatnya, dilanjutkan ke Kanada pada usia 16 sampai menyelesaikan SMA.

Ia diterima di beberapa universitas di AS. Tapi, ia memilih University of Colorado, karena selain merupakan salah satu universitas yang cukup baik di negara itu, ia juga diizinkan bekerja di asrama mahasiswanya dengan bayaran 3,5 dolar/jam. Yang terakhir ini penting bagi pria yang hobi tanaman ini, karena sewaktu kuliah ia tidak lagi menerima kiriman sepenuhnya dari orang tua.

“Jadi, saya benar-benar harus bekerja keras supaya bisa dapat penghasilan untuk biaya hidup sehari-hari selama kuliah. Pagi kerja dua jam, terus kuliah. Siang kerja lagi dua jam, kemudian kuliah lagi. Sore sampai malam kerja lagi dua jam, setelah itu belajar di perpustakaan sebelum pulang pukul 10 malam. Saya menikmati semuanya. Saya enjoy,” tuturnya. Dengan kondisi seperti itu ia tetap bisa menuntaskan kuliah di bidang finance dalam tempo kurang dari tiga tahun dengan hasil sangat memuaskan.

Tahun 1987 ia pulang ke Indonesia dan bekerja sebagai profesional di sebuah perusahaan kayu. Ia ditugaskan dari satu kota ke kota lain di Kalimantan sebelum akhirnya menetap di Jakarta. Tahun 2005 sembari tetap memimpin Arwana, Tandean meneruskan kuliah S2 (stata dua), juga di bidang finance, di University of Chicago, AS. Ia kuliah satu minggu penuh setiap bulan.

Pengaruh pendidikan

“Jadi, tiap bulan bolak-balik Singapura, London, Chicago dan Jakarta. Repot, tapi bila sudah komitmen, harus bisa dikerjakan,” katanya. Tahun 2007 ia berhasil menyelesaikan kuliah itu dan meraih Master of Bussines Administration (MBA). Masa kuliah di Colorado sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepercayaan diri dan cara berpikirnya.

“Colorado itu tempat kuliah orang-orang Indonesia yang rajin dan berkomitmen,” katanya. Ia menyebut beberapa pejabat dan bankir senior di Indonesia sebagai lulusan University of Colorado. Sementara University of Chicago adalah universitas yang paling banyak menghasilkan pemenang Nobel di dunia. Rumah Presiden Terpilih AS Barack Obama tidak jauh dari areal kampus itu.

“Tidak sembarang orang bisa masuk universitas tersebut. Di Chicago kita baru bisa ambil S2 setelah bekerja sekian lama dengan prestasi yang baik dan dukungan nilai akademik yang prima,” ujarnya. Menurut dia, kualitas universitas sangat menentukan reputasi seseorang. “Pak Boediono (Gubernur BI, Red) itu bisa cool dan mantap          me-manage ekonomi kita, juga ada pengaruh background sekolahnya di Wharton (AS),” lanjutnya.

Ia mengakui anak-anak lain boleh jadi tak kalah pintar dan sukses berbisnis. Tapi, karena dari latar belakang keluarga kaya, cara berpikirnya beda. Pulang sekolah dari luar negeri mereka sudah punya job, warisan bisnis orang tua. Sementara orang seperti dia pulang harus mencari chance sendiri. Itu semua mau tak mau menjadi tantangan tersendiri baginya. Harus mampu membentuk perusahaan, sekaligus menetapkan sasaran dan strategi untuk mencapainya.

Faktor keberhasilan

tandean arwana

Ia sendiri sejak awal bertekad menjadikan Arwana sebagai perusahaan terbaik di industri keramik. Arwana harus bisa menghasilkan produk berkualitas dengan harga yang terjangkau kalangan luas. Untuk mencapai target itu ia menyederhanakan proses produksi dan pemasaran, dan menekan pengeluaran yang tidak perlu, sehingga tercapai tingkat efisiensi produksi yang optimal.

Desain pabrik dirancang dengan efisiensi yang tinggi. Belajar dari pengalaman membangun pabrik-pabrik sebelumnya, ia selalu berinovasi untuk menghasilkan unit produksi yang lebih baik. Mesinnya dipastikan hanya dari dua merek terbaik di dunia: Sacmi dan B&T dari Itali. Begitu pula piranti pendukung seperti genset, forklift, dan lain-lain, semuanya dari merek-merek terbaik yang sudah sangat dikenal standar kualitasnya. Jadi, biaya pendidikan SDM, serta pemeliharaan dan suku cadangnya, menjadi efisien.

Ia mendidik sendiri SDM-nya dari nol. Semuanya warga lokal. Tidak memakai tenaga asing atau membajak tenaga ahli dari perusahaan lain. “Kalau saya ambil orang luar, gajinya sudah tinggi, dia juga akan besar kepala. Tapi, kalau diambil dari lokal yang sekolahnya di sini, kita bisa memotivasi. Eh, kalau sekarang kamu susah, anak-anak kamu harus bisa sekolah dan mendapat contoh yang baik supaya masa depannya juga bisa lebih baik,” tutur Tandean.

Dengan proses seperti itu jangan heran produk perdana Arwana baru dilansir tahun 1995, dua tahun setelah didirikan. Begitu pula plant II, baru berproduksi secara komersial dua tahun setelah didirikan. Tapi, demi proses produksi yang efisien, harga itu harus dibayar. Itu pun belum cukup. Ia juga memastikan proses produksi pabrik memang menghasilkan produk bermutu. Maka, plant I pun mendapat sertifikasi ISO untuk manajemen mutu tahun 1997, disusul plant II (2001) dan plant III (2004).

Strategi penunjang

Sementara merek ditetapkan satu untuk semua, dengan beberapa variasi ukuran. Tidak seperti perusahaan lain, dari satu pabrik bisa muncul banyak merek. Keramik lantai misalnya, mulai dari 20 x 20, 30 x 30, sampai 40 x 40, sedangkan keramik dinding 20 x 25. Walhasil, pemasaran dan distribusinya menjadi lebih mudah dan murah. Sedangkan untuk kantor Tandean memilih membeli enam ruko di Sentra Niaga Puri Indah,

“Kita tidak perlu sewa. Coba kalau sewa di CBD Sudirman, paling tidak harus keluar Rp5 miliar per tahun,” ujarnya. Pengeluaran lain-lain juga dibuat sederhana. Untuk perjalanan di bawah lima jam dengan pesawat udara, semuanya harus di kelas ekonomi termasuk direksi. Menu makan karyawan di pabrik dari yang tertinggi sampai office boy juga seragam.

Penghijauan pabrik pun demikian. Kalau di pabrik yang satu pohonnya sudah lebat dan rumputnya sudah padat, tidak perlu membeli tanaman lagi, tapi cukup menyemai bibitnya untuk ditanam di pabrik yang lain. “Jadi, semua sederhana, seragam, standar, tidak macam-macam. Itu yang namanya efisiensi,” katanya.

Dengan strategi seperti itu Arwana mampu menghasilkan keramik berkualitas dalam skala massal dan harga terjangkau. Harga keramiknya saat ini antara Rp25.000 – Rp35.000 per box. “Paling murah dibanding keramik sekelas tapi dengan kualitas lebih baik. Karena itu kita mendapat penghargaan dari majalah Forbes,” katanya.

Kalau ia terlihat agresif berekspansi, itu bukan karena ambisi ingin terlihat besar, tapi terkait dengan strategi efisiensi itu juga. Sembari mengilustrasikannya di papan tulis, Tandean menjelaskan, kalau pabrik tidak ditambah, skala produksi yang efisien sulit dicapai. Pasalnya, biaya cenderung naik, sementara kapasitas produksi pada satu titik akan mentok. Ini berarti keuntungan akan menurun, bukan meningkat.

Belajar dari Air Asia

Jadi, setiap hasil investasi harus ditanam lagi untuk membangun pabrik baru. Makin banyak pabrik, kian massal dan efisien proses produksinya, dan makin kuat produk bersaing di pasar. “Selain itu makin banyak pabrik, makin besar pula kontribusi kita pada negara, entah berupa pajak, penyerapan tenaga kerja, dan lain-lain. Ini juga visi kita sejak awal,” kata Tandean

Karena itu ia tidak pernah merasa bersaing dengan produk sejenis dari merek lain, tapi dengan dirinya sendiri. “Kita harus terus menerus berinovasi agar tetap mampu menghasilkan produk berkualitas dengan harga terjangkau,” lanjutnya. Dalam soal ini ia mengagumi Tony Fernandes, pemilik maskapai penerbangan Air Asia yang tidak punya pengalaman di bisnis pesawat komersial, tapi bisa menjadikan Air Asia sebagai low cost carrier yang disegani.

Ia meluncurkan maskapainya tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 di New York. Untuk itu ia tidak memakai pesawat tua yang murah tapi pesawat baru. Bagaimana bisa? Tragedi Black September membuat orang takut naik pesawat sehingga jumlah penumpang melorot, dan harga sewa pesawat anjlok. Tony melihatnya sebagai momentum melansir maskapai bertarif murah kendati saat itu orang mencapnya “gila”.

Ia juga memperkenalkan sistem pemesanan tiket secara online, untuk mengurangi biaya reservasi dan menekan kebocoran. Saat ini reservasi tiket melalui internet menyumbang 80 persen pendapatan Air Asia. Sebagai akuntan ia tahu kunci sukses low cost carrier terletak pada pengelolaan keuangannya. Namun, ia juga tidak melupakan sisi pemasaran. Ia serius menggarap program branding AirAsia.

Antara lain dengan membangun komunikasi terbuka dengan media dan co-branding dengan klub sepakbola elite Manchester United. Hasilnya, AirAsia tercatat sebagai 50 Most Innovative Companies in The World. “Kenapa Tony bisa, kita tidak? Karena ia punya strategi, perhitungan, dan manajemen yang membawa Air Asia tumbuh dan selalu berada di depan,” tegas Tandean. Yoenazh K Azhar, Joko Yuwono

 

Bukan Sekedar Nama Ikan

produk arwana

Awalnya banyak yang mengira Arwana diambil dari nama ikan. Padahal, nama itu dipilih Tandean karena alasan sentimental. Sewaktu kuliah di Colorado, interaksi antar sesama mahasiswa Indonesia di sana sangat akrab. Saking akrabnya mereka tidak saling memanggil nama, tapi nama suku masing-masing seperti Cina, Arab, Jawa, dan Batak.“Jadi, Arwana itu bukan nama ikan tapi kependekan dari Arab, Jawa, dan Cina,” katanya. Tapi, bila orang mengasosiasikan merek itu dengan nama ikan yang hanya ada di Indonesia itu, ia juga tidak mempersoalkannya. Malah, nama itu bisa menjadi nilai tambah karena genuine Indonesia, tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

“Tidak masalah merek kita khas Indonesia. Sepanjang produknya berkualitas, orang akan beli. Merek itu tergantung kualitas produk,” ujarnya. Dengan nama Arwana ia juga akan makin termotivasi menjaga reputasi produknya, karena nama itu identik dengan nama ikan termahal di negeri ini. “Dengan nama Arwana saya tidak mungkin bikin barang yang jelek,” katanya.