HousingEstate, Jakarta - Sejak merdeka tahun 1945 hingga saat ini pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan hunian layak khususnya untuk golongan menengah bawah. Penyebabnya adalah perumahan dijadikan komoditas dan melupakan fungsi sosialnya. Program perumahan yang dibuat pemerintah juga tidak ada yang fundamental.

“Semestinya mencontoh Inggris, (pemerintah negara itu) membangun public housing untuk mendukung industrialisasi di negaranya. Ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah kita, di sini negara hanya ikut campur untuk sektor perumahan,” ujar Tjuk Kuswartojo, pemerhati Kebijakan Lingkungan, Perkotaan dan Pemukiman, pada forum diskusi tentang program pembangunan sejuta rumah, di Jakarta, Kamis (17/9).

Karena hanya sebatas ikut campur, dana yang dialokasikan oleh pemerintah ke sektor perumahan rakyat sangat terbatas. Kesalahan dalam pembangunan perumahan rakyat adalah menggunakan paradigma industri. Kalangan media massa melihat masalah perumahan juga dengan kaca mata sama dengan melupakan aspek sosial sebuah rumah. “Dulu zaman Presiden Megawati sudah ada istilah sejuta rumah, tapi pengertiannya hanya gerakan, bukan program. Saya jadi melihat program sejuta rumah ini seperti pembangunan Candi Sewu, diusahakan tapi nggak pernah jadi. Harusnya dipetakan dulu, untuk siapa dan kalau sudah ada bagaimana,” imbuhnya.

Tjuk menyebut rumah merupakan bangunan yang akan ditinggali dalam waktu lama oleh penghunianya. Bisa sampai 50 tahun sehingga dalam periode waktu itu sangat banyak dinamikanya. Karena itu harus dibuat jelas golongan masyarakat penghuninya dan ini didorong dengan kebijakan pemerintah. Selama ini program pembangunan dan industrialisasi tidak diintegrasikan dengan program perumahan.

“Di sinilah kegagalan negara dalam mengatur perumahan, di banyak negara perumahan itu alat produksi. Dulu zamannya Menteri Tenaga Kerja Sudomo pernah dicanangkan perumahan di kawasan industri dengan didukung asuransi tenaga kerja. Sayangnya program itu tidak berlanjut,” tandasnya.