HousingEstate, Jakarta - Selama 15 tahun terakhir kehidupan masyarakat berubah drastis baik secara individu, kelompok, maupun organisasi, menyusul perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Apapun kini baik orang, barang dan jasa, maupun pengetahuan dan agama, terkoneksi dengan dunia maya (internet) sehingga memunculkan apa yang disebut dengan Internet of Things (IoT) atau dunia serba internet.
Siapapun dan apapun mau tak mau harus beradaptasi dengan revolusi 4.0 itu termasuk kota. Kalau tidak, perubahan cepat itulah yang akan memaksa kita berubah. Karena itu pengembangan dan pengelolaan kota berbasis TIK atau yang dikenal dengan istilah smart city (kota cerdas) pun menjadi keniscayaan, guna memudahkan aktivitas warga dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Smart city adalah kota yang dapat mengelola semua sumber dayanya (sosial, ekonomi, SDM, pengetahuan, teknologi, kultural, agama, dan lain-lain) secara efektif dan efisien untuk menyelesaikan berbagai persoalan, menggunakan solusi inovatif, terintegrasi, dan berkelanjutan berbasis TIK yang kian canggih dan efisien. Metode konvensional tidak memadai lagi menyelesaikan persoalan karena kian padatnya kota dan kompleksnya masalah.
Mengutip Kompas, saat ini 50 kota sudah mengembangkan rencana induk kota cerdas itu. Tahun 2019 sebanyak 50 kota lagi diharapkan mengikutinya. Beberapa kota itu seperti Surabaya, Bandung, dan Banyuwangi, sudah cukup sukses menerapkan konsep itu pada sebagian bidang. Jakarta sendiri yang merupakan ibu kota negara, baru mencanangkan penerapan smart city itu tahun 2019. Dimulai dengan mengintegrasikan semua moda transportasi umum baik fisik maupun sistem (satu tiket berlaku untuk semua moda atau open loob.
Menurut Iwan Suprijanto (47), Direktur Bina Penataan Bangunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemerintah tidak merilis regulasi khusus yang mengharuskan kota-kota bertransformasi menjadi kota cerdas. “Kita sebatas mendorong dengan fokus meningkatkan pelayanan publik, karena kota cerdas itu sudah keniscayaan, semua orang sudah connected,” kata pria kelahiran Malang itu kepada Yoenazh Khairul Azhar, Yudiasis Iskandar, dan fotografer Susilo Waluyo dari HousingEstate yang menemuinya di kantornya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, akhir tahun lalu.
Karena sudah menjadi keniscayaan, ia menyambut baik proyek real estate yang mengadopsi konsep itu. Berikut petikan wawancara dengan magister arsitektur yang sebelumnya menjadi peneliti utama di Puslitbangkim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian PUPR itu.
Kenapa harus ada “smart city”?
Kita sudah memasuki era industri 4.0 yang semuanya digital. Smart city itu bagaimana memanfaatkan seluruh potensi kota (untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan meningkatkan kualitas hidup warganya) dengan dukungan ICT (information and communication technology). Teknologi digital ini membangun efisiensi. Krisisnya kemacetan lalu lintas akibat banyaknya pergerakan untuk keperluan ini dan itu. Dengan ICT, pergerakan itu bisa dikurangi drastis. Misalnya, dengan m-banking, e-commerce, online single submission (OSS), dan sejenisnya. Di Surabaya orang mau berobat, cukup ke rumah sakit terdekat. Rekam mediknya online. Jadi, kota cerdas itu respon terhadap peradaban yang sudah pakai smartphone semua. Pendekatannya multidimenasi dan terintegrasi. Nanti kalau sudah satu ID (identitas), itu bisa dipakai untuk semua urusan. Semua data sudah ada di dalamnya. Mulai dari identitas diri, tempat tinggal, riwayat pendidikan, pekerjaan, kesehatan, keluarga, pemilikan aset, jaminan sosial, rekening bank, pembayaran aneka tagihan, pajak, dan lain-lain. Dengan cara itu orang tidak perlu banyak mondar-mandir, antri, dan seterusnya. Dampak lebih jauh, memangkas ekonomi biaya tinggi, polusi, konsumsi energi, jumlah aparat pemerintah, dan seterusnya. Contoh sederhananya, orang pengen gado-gado tidak perlu keluar bensin (pakai mobil keluar rumah), bayar tol, hanya untuk makanan Rp23 ribu. Tinggal buka aplikasi, pilih makanan yang diinginkan, makanan itu pun diantar. Kalaupun harus berkendara keluar rumah, dengan aplikasi di smartphone, kita bisa tahu jalan yang padat dan lancar, sehingga perjalanan lebih efisien.
Dari sisi pemerintah apa esensi mendorong pembentukan “smart city” itu?
Meningkatkan pelayanan publik dengan dukungan ICT. Sekarang sudah ada e-procurement dan e-catalog. Semua barang ada di sana. Tinggal pilih yang terbaik. Transaksinya online, cashless. Pada akhirnya ini juga jadi salah satu cara pencegahan korupsi. Dengan sistem seperti ini orang nggak bisa lagi saling ngasih (feed back). Semua gaji dan pengeluaran sudah jelas tertera. Kalau tiba-tiba jeglek, ada uang (besar) masuk, orang bisa lihat. Kalau yang terkait dengan bina penataan bangunan, saya lagi mengembangkan building information modeling (BIM) untuk konstruksi. Bukan hanya sampai 3D, tapi 7D. Artinya sampai building operation, maintenance. Sekarang saya lagi kerjakan Stadion Manahan (Solo). Itu saya lengkapi kamera di beberapa sudut. Jadi, proses pembangunannya pagi-siang-malam te-record semua. Mulai dari perencanaan sampai pengerjaan, semua dihitung. Saya nggak harus ke Solo, tinggal lihat video. Lihat perencanaan, kalau ada yang nggak sinkron (pengerjaannya), tinggal video conference. Sekali-kali aja ke sana kalau ada atensi dengan pimpinan daerah atau ada masalah teknis yang harus diselesaikan di lapangan. Itu skala yang kecil. Dalam skala yang lebih besar seperti kota, kita bisa atur semua, tinggal duduk. Jadi walikota bisa lihat, ada apa di sana. Macet, kerusuhan, banjir, pohon tumbang, dan lain-lain, langsung bisa perintahkan polsek dan dinas terkait mengatasinya. Responnya akan cepat sekali. Kalau ada ibu-ibu sakit, nggak bisa keluar (rumah sendiri), dengan HP dia bisa hubungi call center. Nanti ada yang pick up (jemput untuk) dibawa ke rumah sakit. Pemerintah daerah harus membangun sistemnya dan mengintegrasikan semua sektor ke dalamnya.
Sudah ada contohnya?
Surabaya sudah punya e-government. Kalau masuk ruangan Bu Risma (Walikota Surabaya), banyak banget TV-nya. (Melalui TV itu) sungai naik kelihatan, kenapa sungainya ireng (hitam) sehingga bisa langsung ke sana. Orang ribut bisa tahu di RT sekian. Bisa langsung telepon (pejabat terkait), itu wargamu ada yang berantem. Dia sudah punya banyak e, sampai yang pakai bahasa Jawa. Jadi efisien, cepat ambil tindakan, itu untuk layanan. Untuk pemerintahan juga ada. Misalnya, ketika menyusun anggaran, dinas-dinas tinggal masukkan ke e-programing. Rupiahnya ada di Bappeda, dia yang atur jadi budgeting. Jadi, dari program jadi budget, kemudian jadi uang, lalu masuk ke e-procurement. Itu dipilah-pilah, mana yang konstruksi, mana yang e-catalog, semua online. Barang datang delivery-nya ke siapa, jelas. Lelang barang publik pun lebih efisien dan transparan. Masyarakat bisa tahu pemerintah mau beli apa. Semua makin transparan. Kalau beli mobil dinas (sedan) Camry, masyarakat bisa bilang, masih banyak yang miskin kok beli Camry. Di polisi bisa dibuat e-tilang yang terintegrasi dengan e-tilang dari wilayah lain, bahkan dengan Interpol. Jadi, mudah mengetahui dan menindak pelanggaran atau kejahatan yang pelakunya dari wilayah atau negara lain. Semua bisa dibangun dan sudah mulai dibangun.
Jadi, smart city sudah jadi policy pemerintah?
Bukan kebijakan (resmi) pemerintah tapi memang sudah tuntutan (zaman). Pemerintah baru dalam taraf mendorong (penerapannya) untuk meningkatkan pelayanan dan efisiensi sumber daya. Sebelum (kota seperti) Jakarta deadlock, kita harus sudah pikirkan bagaimana solusinya dari sekarang. Tidak menunggu 2030 saat jumlah penduduknya sudah sekian. Jadi, smart city itu bagaimana memikirkan dan mengantisipasi solusi aneka masalah di sebuah wilayah dengan dukungan ICT. Penerapannya berupa e-government yang mengintegrasikan semua layanan dan lembaga terkait di daerah masing-masing. Data dasarnya misalnya, jumlah penduduk, peta geografis daerah itu, topografi wilayah, jaringan jalan, perumahan, dan lain-lain. Pengembangannya tentu bertahap, core-nya dibangun dulu. Prioritasnya tergantung karakterisitik wilayah dan kebutuhan setiap kota atau kabupaten. Untuk itu setiap wilayah perlu mengidentifikasi potensi dan tantangannya masing-masing. Wilayah pedesaan tentu berbeda karakterisitiknya dengan perkotaan. Begitu pula megapolitan dengan kota kecil. Jangan sampai sistem sudah dibuat canggih, tapi nggak terlalu dibutuhkan. Atau masyarakatnya nggak bisa akses, hanya segelintiran. Pemerintah pusat mendukung dengan kebijakan dan penyediaan infrastruktur. Kalau sekarang 4G, nanti naik jadi 5G. Di PUPR sendiri dengan BIM itu seluruh bangunan nanti bisa terdata. Ini sudah jalan, sudah ada PP dan Permen-nya. Yang melakukan pendataan, ya daerah. Kita akan dorong semua kabupaten dan kota menjalankannya. Dimulai dari bangunan milik pemerintah. Kalau sudah jalan, nanti ujungnya ke perizinan, IMB, sertifikat laik fungsi (SLF). SLF sudah kadaluwarsa dan harus diperbaharui, bangunan berubah fungsi atau ada penambahan sehingga harus ajukan IMB lagi, itu kebaca semua.
Bagaimana dengan developer yang menerapkan konsep smart city di proyeknya?
Sistemnya bisa jadi satelit dari sistem utama (di wilayahnya). Dia menyesuaikan dengan sistem induknya. Juga terkoneksi. Misalnya, sistem keamanannya terkoneksi dengan kantor polisi dan dinas pemadam kebakaran. Penghuni bisa pantau rumahnya dari smartphone lewat CCTV. Kalau ada apa-apa di rumahnya, bisa langsung klik ke kantor polisi atau dinas terkait. Listrik dan piranti elektroniknya lupa dimatikan, bisa dimatikan dari jauh melalui aplikasi di smartphone. Memang, lebih baik membangun baru, mudah mengembangkannya. Itu bisa jadi nilai jual proyek real estatenya.
Menurut Prof Dr Ir Suhono Harso Supangkat M.Eng, guru besar teknologi informasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB (ITB.ac.id, 25 September 2017), smart city setidaknya meliputi tiga aspek: smart economy (pengembangan industri, UKM, turisme, hingga keuangan-perbankan), smart society (pengembangan kesehatan, pendidikan, layanan publik, sampai keamanan), dan smart environment (pengelolaan energi, air, lahan dan udara, pengolahan limbah dan manajemen tata ruang).
Ketiga aspek itu dapat diwujudkan bila terjadi hubungan yang baik antara tiga komponen pendukungnya: resources (semua sumber daya kota), enabler (teknik atau metode apapun yang memungkinkan terlaksananya sebuah proses atau aktivitas), dan process (inisiatif atau kegiatan yang dilakukan enabler). Untuk mengakselerasinya yang terpenting bukan hanya adanya smart infrastructure, tapi juga kesungguhan pemerintah dan warga untuk mendorong dan menerapkan perilaku smart.
Ia menyebutkan, infrastruktur, warga, dan pemerintah kota adalah enabler yang perlu ditonjolkan dalam smart city. Tidak sedikit kota yang terjebak hanya mengembangkan teknologi/aplikasi tapi mengabaikan enabler. Contohnya, sebuah kota sudah memiliki command center, tapi kemacetan lalu lintas tetap terjadi. Kurangnya edukasi terhadap warga untuk mengubah perilaku membuat aplikasi TIK kurang maksimal mewujudkan kota cerdas.