Generasi Langgas, Millennials Indonesia
Penulis: Yoris Sebastian, Dilla Amran & Youth Lab
Penerbit: Gagas Media
Cetakan pertama: September 2016
Tebal: 194 + viii
HousingEstate, Jakarta - Generasi X (lahir 1965–1979) mengalami apa yang disebut dengan love and hate situation dengan orang tuanya, generasi pasca perang (baby boomers). Karena itu begitu beranjak dewasa, mereka ingin segera mandiri dan keluar dari rumah orang tuanya. Salah satu bentuk kemandirian itu adalah punya rumah sendiri (dan kemudian juga kendaraan bermotor). Keinginan punya punya rumah dan kendaraan sendiri itu umum di kalangan generasi X, bahkan menjadi indikator keberhasilan sekaligus simbol status mereka.
Bagaimana dengan generasi Y (lahir awal tahun 1980-an sampai menjelang tahun 2000) yang umumnya merupakan anak dari generasi X? Apakah mereka juga mengalami situasi yang sama dan karena itu juga ingin segera lepas dari orang tuanya dan punya rumah sendiri? Kita masih perlu mencari tahunya lebih jauh.
Menurut praktisi dunia kreatif Yoris Sebastian, generasi Y yang disebut juga generasi milenial karena lahir dan besar menjelang akhir milenium kedua, sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya baik di rumah, dalam pergaulan sosial, maupun di dunia kerja.
Mereka tidak mudah dipahami. Mereka generasi yang tumbuh besar di zaman berkembang pesatnya teknologi informasi dan karena itu selalu connected, yang membuat mereka punya begitu banyak pilihan dan kesempatan dalam semua hal. Karena itu mereka juga disebut generasi langgas (bebas), generasi yang suka-suka memilih apa yang mereka senangi.
Apalagi, generasi X lebih longgar kepada anak-anaknya generasi Y, bahkan cenderung protektif. Bila generasi X berusaha mandiri dalam segala hal, banyak generasi Y masih diantar orang tuanya untuk mendaftar kuliah dan mencari rumah kos. Karena itu kalau generasi X rela berhemat demi menyiapkan uang muka rumah, hal itu mungkin tidak ada dalam agenda generasi Y. Menyewa apartemen di tengah kota boleh jadi lebih realistis bagi mereka.
Selain itu, dengan menabung joint income (suami istri) pun, sangat sulit bagi kebanyakan milllennials membeli rumah yang sesuai dengan selera mereka, karena harganya jauh lebih tinggi dibanding pendapatan mereka. Ditambah lagi, baru sedikit hunian termasuk apartemen yang dikembangkan sesuai dengan selera kaum tersebut. Generasi Y juga membaca, bahkan di Amerika Serikat pun banyak kaum milenial memilih realistis dengan tetap tinggal bersama orang tuanya.
Masih kata Yoris yang intens mengamati sekaligus melibatkan kaum milenial dalam kerja kreatifnya, generasi Y juga cenderung ingin menikmati hidup mereka selagi muda. Jadi, mereka lebih suka membeli gadget, kendaraan bermotor dan liburan. Bahkan, kendaraan bermotor pun ke depan bagi mereka mungkin tidak perlu dimiliki sendiri tapi bisa sharing.
Sementara gadget dan liburan sangat penting. Selain karena memang diperlukan setelah lelah bekerja, liburan juga status baru bagi kaum milenial seperti mobil pada generasi X. Kaum milenial hidup di era social media. Up date status dan likes merupakan keseharian hidup mereka. Liburan bisa terus di-posting, sedangkan rumah dan mobil tidak.
Tentu saja masih banyak ciri lain kaum digital ini, seperti ingin serba praktis dan cepat, serta copy content generation (amati, tiru dan mofifikasi sedikit). Mereka juga cenderung mau yang gampang-gampang saja. Sikap itu mungkin menyenangkan di satu sisi, tapi di sisi lain membuat mereka kurang kedalaman. Susah sedikit, langsung give up dan ingin mencoba yang lain. Butuh apapun, tinggal tanya Google atau buka Youtube, yang mendorong millennials malas berpikir sendiri.
Mereka juga generasi yang terpapar begitu banyak informasi (overload information), sehingga menjadi sangat pragmatis sekaligus mudah berubah. Mau kemana saja, tinggal pesan ojek online. Mau beli ponsel, browsing dulu di internet. Mau beli TV, compare dulu di beberapa market place. Mau nginep di hotel, baca testimoni orang-orang dulu. Bahkan, mau nonton di bioskop, posting dulu di medsos. Aneka opini, komentar dan masukan pun membanjir dari circle mereka sehingga sikap mereka semula bisa berubah.
Buku ini menguraikan 9 ciri dan 8 karakter generasi milenial itu. Ciri dan karakter yang menonjol pada masing-masing kelompok (ada millennials yang masih sekolah, ada yang sudah bekerja, dan ada yang sudah menikah) berbeda-beda.
Kenapa mereka begitu berbeda dibanding generasi sebelumnya? Buku ini menguraikannya dengan cukup baik.
Tentu saja buku yang ditulis Yoris Sebastian bersama Dilla Amran dan Youth Lab ini belum sepenuhnya bisa menggambarkan kaum milenial. Tapi sebagai referensi awal, buku ini layak dibaca termasuk oleh developer properti.
Kita sangat perlu memahami generasi internet ini, karena tahun 2020–2030 populasi usia produktif (usia 15–64 tahun) Indonesia akan mencapai puncaknya (70% dari total populasi) yang kerap disebut bonus demografi.
Lebih dari 50% populasi usia produktif itu adalah millennials. Tahun 2015 saja, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah mereka mencapai 84 juta. Apakah mereka benar-benar akan menjadi bonus dan bukannya beban demografi?
Yoenazh Khairul Azhar, Redaktur Pelaksana Majalah HousingEstate
Sumber: Majalah HousingEstate edisi September 2017